SEJARAH GEREJA MULAI ABAD PERTENGAHAN
SAMPAI ABAD KE -12
Abad ke-5
Pada permulaan abad pertengahan, gereja Baratlah yang mula – mula sadar
akan panggilan untuk mengabarkan injil kepada segala Bangsa. Pusat pengutusan
Injil di Eropa terdapat di Irlandia, dibawa oleh seorang bernama Patrick pada
tahun 432. Dengan segera timbullah disana suatu gereja Kristen yang berkembang
dengan cepat. Gereja itu dipimpin oleh biara – biara yang menjadi pusat
kehidupan rohani, ilmu dan kebudayaan.
Banyak rahib merasa dirinya terpanggil untuk meninggalkan pulau
orang-orang kudus itu. Mereka membawa Injil banyak ke negeri di Eropa, misalnya
ke tanah Inggris, Skotlandia, Jerman Barat, bahkan sampai ke pulau Es. Colombia
memasehikan Skotlandia (563) dan Columbanus (±600) mempengaruhi banyak orang
kafir di Eropa Barat dengan kotbahnya yang memanggil kepada pertobatan.
Sejarah gereja awal abad pertengahan dikaitkan dengan kepausan Gregorius
Agung (590 – 604).
Pada akhir abad pertengahan seorang
paus naik takhta yang mengemudikan gereja dengan kuat, yaitu Gregorius Agung
(590 – 604), yang dahulu menjabat pangkat walikota Roma. Di Spanyol dan di
Prancis Gregorius Agung juga memperkokoh kuasanya. Di Italia Gregorius Agung
memperluas daerah jemaat Roma, sehingga paus menjadi kepala pemerintah suatu
daerah, diperluas lagi menjadi “negara – gereja”.
Dalam lapangan theologia, Gregorius
Agung melemahkan ajaran Augustinus. Menurut Gregorius, keselamatan kekal
dihasilkan oleh kerjasama dari rahmat Tuhan dengan amal, jasa dan penitensia manusia.
Oleh karena sumbangan manusia tentulah belum mencukupi pada ketika ajalnya
tiba. Gregorius menetapkan ajaran gereja tentang api penyucian. Di dalam
api itu sisa – sisa dari siksa atau hukuman karena dosa haruslah dilunasi oleh
orang yang mati itu. Untuk mencapai maksud itu dengan segera, keluarga dan
sahabatnya boleh membantu dia dengan doa dan derma dan dengan membayar misa
istimewa. Dengan demikian maka dalam hidup ini hati manusia dipenuhi dengan
pengharapan dan ketakutan terhadap nasibnya yang kekal.
Abad ke-7
Ketika gereja Barat menempuh jalan
yang menuju kepada kemajuan besar, gereja Timur sama sekali kehilangan kuasa
dan pengaruhnya. Mula – mula bahagian gereja di Timur itulah yang terpenting,
tetapi sesudah agama Islam membanjiri segala negeri di sebelah Timur dan
Selatan Laut Tengah abad ke VII, maka gereja Timur lekas runtuh, karena hidup
rohaninya sudah lama mundur. Hal ini disebabkan oleh karena gereja itu kurang
sadar akan tanggung jawabnya terhadap dunia. Gereja di Barat meskipun sesat dan
beraib selalu teringat juga akan tugasnya, yaitu menyiarkan Injil di antara
segala bangsa. Setiap gereja hanya mengingat diri sendiri dan melupakan
panggilannya, yaitu memberitakan Firman Tuhan, lama kelamaan niscaya akan mati.
Dasar kebudayaan Kristen di Eropa
Barat diletakkan oleh kerajaan dan gereja bangsa Frank, Karel Martel meluputkan
Eropa Barat dari bahaya Islam dengan mengalahkan tentra Arab dekat Poitiers di
Perancis pada tahun 732. Paus – paus menganggap kerajaan Frank sebagai sebagai
pelindung dan pembela gereja.
Kerajaan Frank memuncak dibawah pemerintahan Karel Martel. Raja Kristen
ini mempersatukan Eropa Barat, sehingga merupakan satu badan yang kuat, yang
jiwanya gereja Katolik. Tetapi gereja itu tetap bercorak gereja negara. Paus
dihormati oleh Karel sebagai warga pertama dari kerajaannya, tetapi tidak
diberi kuasa untuk mencampuri perkara – perkara gereja. Raja sendiri yang
memerintahi gereja, karena cita – citanya ialah mencontoh raja Daud, yakni
mewujudkan suatu theokrasi baru di Eropah Barat. Adapun tujuan Karel adalah untuk
maksud mempergunakan gereja untuk kepentingannya sendiri, melainkan melayani
dan membangun gereja sedapat-dapatnya. Susunan gereja diaturnya lebih baik. Uskup
– uskup diangkatnya dan ditempatkannya. Daerah – daerah Uskup dibaginya dalam
paroki – paroki yang dikepalai oleh imam- imam biasa. Tata cara kebaktian
disegala daerahnya disamakannya Khotbah dalam bahasa daerah dan pengakuan dosa
dihadapan imam dimajukannya.
Pada konsili oikumenis yang terakhir di Nicea (787), gereja Timur dalam
permupakatan dengan paus menetapkan suatu peraturan untuk menghormati patung –
patung, tetapi putusan itu dilawan keras oleh Karel. Dan kemudian ditolak
selaku perkara takhayul oleh suatu sinode besar di Frankfurt (794).
Pada hari Natal tahun 800 Karel sekonyong - konyong dimahkotai oleh Paus
selaku Kaisar. Dengan penobatan tersebut dinyatakan bahwa Karel menjadi
pengganti kaisar-kaisar kekaisaran Romawi yang dahulu.
Abad ke – 8
Sudah
sejak abad ke-8 sudah terlihat bibit – bibit perpecahan gereja Timur dan gereja
Barat. Bibit – bibit perpecahan ini umumnya disebabkan oleh klaim kekuasaan,
pengaruh, dan kekayaan (tanah) yang sudah sangat mewarnai hidup gereja waktu
itu.
Bibit – bibit perpecahan itu
ditambah lagi dengan persoalan ikonaklasme, yaitu semangat kelompok umat
religius di Timur yang menentang pemujaan terhadap ikon (gambar, patung kudus).
Paus (gereja barat) tidak mempersoalkan penghormatan kepada ikon, gambar, atau
patung suci, sedangkan kaisar yang selalu ditaati oleh Gereja Timur sangat
menentang penghormatan kepada ikon itu.
Abad ke – 10
Pada abad ke-10, pada tahun 1040-an
Gereja Barat mengalami kemerosotan total. Pemimpin gereja. yakni takhta
kepausan lumpuh akibat korupsi yang merajalela dalam tubuh gereja. Tidak ada
pengontrolan terhadap penyelewengan yang melanda seluruh gereja di Eropa.
Dengan melemahnya otoritas kepemimpinan gereja, sebagian besar kekuasaan dalam
tubuh gereja diambil alih oleh penguasa sekuler.
Orang-orang yang membangun gereja
dan biara beserta para penerusnya selalu mendapat hak khusus untuk mendapatkan
hak khusus untuk mengangkat seorang imam sebagai pengelolanya. Terdorong oleh
ambisi untuk menguasai kekayaan dan tanah gereja yang begitu luas, para raja
dan kaisar pun mengambil otorits untuk menobatkan uskup dan abbas. Para uskup
dan abbas pun menjadi sangat kompromistis, korup dan dipaksa mematuhi para
penguasa sekuler yang telah menobatkan mereka dan mengabaikan hukum Allah. Satu
– satunya pihak yang menentang keras praktik korupsi tersebut adalah para rahib
reformis yang menjadi pengikut kepemimpinan Biara Cluny.
Pada tahun 1046, Kaisar Henry III
memecat tiga orang paus yang saling bersaing di Roma dan mengangkat seorang
uskup suci dari Jerman sebagai penggantinya. Paus Leo IX (1049-1054) berusaha
menghentikan penyelewengan dalam tubuh gereja dan mengakhiri campur tangan kaum
sekuler. Para pengganti Leo IX melanjutkan usaha mereformasi gereja ini. Mereka
ingin mengakhiri jual beli jabatan gereja supaya para uskup dan abbas tidak
lagi dipilih dan diangkat oleh penguasa sekuler, melainkan dipilih oleh para
pastor dan biarawan. Paus – Paus tersebut juga berupaya mewujudkan kehidupan
selibat yang sejati; dengan demikian, mengakhiri citra buruk para imam yang
menikah dan karena itu, kadang-kadang menjadikan harta milik gereja sebagai
kekayaan pribadi secara turun temurun.
Perjuangan Reformasi ini mencapai
titik puncak saat Kardinal Hildebrand menjabat sebagai paus, dengan nama
Gregorius VII sejak tahun 1073. Dia menegakkan otoritas kepausan pada tatanan
baru dengan mendeklarasikan bahwa tak seorang pun yang memiliki hak hukum atas
otoritas kepausan. Kaisar Henry IV mengabaikan seruan tersebut. Paus Gregorius
VII mengekkomunikasikan Kaisar Henry IV.
Sejumlah kerabat kaisar mendukung
seruan paus dan mengancam akan memberontak terhadap kaisar Henry IV. Keadaan
ini memaksa kaisar Henry melakukan perjalanan panjang saat cuaca buruk bulan Januari
1077 untuk menemui paus Gregorius VII yang sedang beristirahat di Conossa,
Appennines. Selama empat hari berturut – turut, ia berlutut di salju sebelum
akhirnya mendapat pengampunan. Hal tersebut merupakan awal dari perselisihan
yang panjang antara otoritas kepausan di Roma dan Kaisar Henry IV. Sebagai
kelanjutan dari perseteruan tersebut, kaisar Henry IV berhasil mencaplok Roma
dan menobatkan paus pilihannya sendiri.
Perselisihan panjang tersebut berakhir dengan dicapainya kesepakatan
bersama tahun 1122 dalam Concordat Worms. Dalam kesepakatan tersebut,
digariskan bahwa para uskup harus dipilih oleh para pastor dan disaksikan kaisar,
dan bahwa uskup – uskup tidak dinobatkan oleh kaisar meskipun tetap tunduk
kepada kaisar.
Perang
Salib I
Kira – kira tahun 1070, Palestina, Siria, dan Asia Kecil jatuh ke dalam
tangan orang Turki. Bangsa yang beragama orang Islam itu mengancam kebudayaan
dan agama Kristen di Eropa. Orang – orang musafir Kristen yang mengunjungi
tempat – tempat suci di Palestina, sangat diganggu dan disiksa oleh orang
Turki. Mereka menyampaikan keberatannya kepada paus. Kaisar Byzantium memohon
pertolongan dari Barat.
Pada suatu sinode di Clermont (Perancis) pada tahun 1095 umat Kristen
dikerahkan oleh paus Urbanus II untuk mengangkat perang suci buat merebut tanah
suci dari orang Islam. Dimana – mana panggilan yang indah itu diteruskan oelh
pengkhotbah – pengkhotbah yang bersemangat. Misalnya Petrus dari Amiens
(Prancis Utara), yang sudah mengalami sendiri banyak sengsara di Palestina.
Banyak orang dari segala lapisan masyarakat menurut ajakan itu seraya berteriak
“Allah menghendakinya” Mereka menempelkan sebuah salib dari kain merah pada
bahu atau dadanya sebagai tanda bahwa mereka mau pergi merebut Yerusalem,
tempat Yesus disalibkan.
Adapun orang – orang yang ikut dalam perang tersebut didorong oleh
berbagai – bagai motif yang kurang suci, misalnya ada orang – orang yang
mengharapkan untung dan kehormatan, ada yang terdorong oleh segala cerita yang
ajaib tentang daerah timur, tidak sedikit juga orang yang ingin mendapatkan
penghapusan dari hukuman dosa (indulgensia), yang dijanjikan oleh Paus. Paus
sendiri ingin mengembangkan kekuasaannya ke daerah Timur. Memang bagi umat
Kristen pada umumnya perang salib itu mengandung arti rohani yang mulia dan
dianggap sebagai suatu kebajikan yang besar, tetapi dalam praktek perang itu
berbeda dengan perang biasa.
Abad ke – 11
Pada awal abad ke-11, perbedaan budaya dan agama antara Timur dan Barat
menimbulkan masalah. Timur mengizinkan tradisi Helenistik yang memungkinkan
adanya perubahan karena kebanyakan orang tidak bisa lagi berbahasa latin. Di
daerah barat, hanya sedikit orang yang paham bahasa Yunani. Timur juga mulai
memandang barat sebagai kumpulan orang barbar yang tidak berpendidikan dan
tidak beradab. Di Timur, tingkat pendidikan di antara kaum awam memang tinggi,
seperti juga para imam, sedangkan di barat, hanya terbatas bagi elite gereja.
Sementara Roma berkali – kali mengalah karena serangan orang barbar, kaisar –
kaisar di konstantinopel memperindah ibu kota kekaisaran. Timur dan Barat telah
jauh terpisah secara politis. Daerah Barat menganggap Timur sebagai sumber
segala mistik, sedangkan Timur menganggap Barat sebagai bayangan kejayaan masa
lalunya.
Sumber perpecahan yang lain adalah
ketika orang-orang Norman mulai memasuki daerah selatan Italia, yang secara
politis diperintah oleh Timur walaupun sebenarnya adalah bagian Barat. Kaisar
Konstantinopel memerlukan bantuan dari Barat untuk mengalahkan Norman, tapi
Paus tidak bersedia membantu karena ia ingin memiliki kembali hak hukum atas
daerah Italia Selatan dari Patriark Konstantinopel.
Perang
Salib Kedua
Perang
salib kedua terjadi pada abad ini, yaitu pada tahun 1149 – 1157 tetapi tidak
berhasil, sebab sudah lumpuh di muka kota Damaskus.
Perang
Salib Ketiga
Perang salib ketiga juga terjadi
pada abad ini yaitu pada tahun 1187. Raja – raja Inggris (Richard Hatisinga),
raja Perancis (Philip August), dan Jerman (Frederick Barbarossa), menggabungkan
usahanya, tetapi Kaisar Frederick mati lemas di Asia Kecil, sehingga sebagian
besar dari pasukan – pasukannya pulang ke negerinya, dan raja – raja yang lain
berbantah – bantah saja, akibatnya perang yang ketiga gagal total.
Abad ke-12
Perluasan kuasa paus berpuncak dalam paus Innocentius III (1198-1216). Ia
tidak hanya cakap dalam memerintah gereja, tetapi juga dalam mengatur politik
internasional. Ia memaksakan raja Perancis dan Inggris untuk menuruti
kehendaknya dan campur tangan dalam pemilihan kaisar Jerman. Keterlibatan dalam
politik dunia dibenarkan oleh Innocentius dengan teori-teori seperti yang
disebut di atas. Hubungan paus dan kaisar dibandingkan dengan matahari dan
bulan. Matahari bersinar sendiri, tetapi bulan menerima cahayanya dari
matahari. Demikianlah kaisar menerima kuasanya dari paus. Kuasa paus tidak lagi
dikaitkan dengan wibawa Petrus. Sebagai tambahan untuk gelar "pengganti Petrus"
untuk paus, diciptakan oleh Innocentius III gelar "wakil Kristus"
(vicarius Christi). Gelar ini menyatakan bahwa paus melihat diri sebagai kepala
corpus Christianum, yang mewakili Kristus di muka bumi ini.
Akan tetapi keterlibatan politik Innocentius III menyatakan juga batas
kuasa paus. Menjadi nampak bahwa paus hanya dapat berperan di bidang politik
dan mengurusi negara-negara, kalau wewenangnya diakui oleh negara-negara dan
kalau penguasa-penguasa politik rela menuruti kehendaknya.
Sebenarnya wewenang dan kerelaan itu ada pada waktu itu. Dalam dunia
politik internasional pada zaman itu dibutuhkan suatu instansi yang dapat
menyelesaikan konflik-konflik antar bangsa seperti Perserikatan Bangsa-bangsa
sekarang. Bukankah paus sebagai kepala gereja cocok untuk peranan ini di dalam
Eropa yang beragama Kristen? Lebih lanjut kaisar dan para raja mengerti bahwa
dukungan gereja yang begitu berpengaruh dalam masyarakat penting untuk
stabilitas negara. Oleh karena itu mereka rela mengakui paus sebagai kepala kekristenan,
supaya mendapat dukungan gereja.
Masalah timbul pada saat wewenang paus tidak diakui dan penguasa-penguasa
politik tidak sudi melakukan kehendaknya. Dalam keadaan ini menjadi nampak paus
tidak mempunyai kuasa untuk memaksakan kehendaknya, sebab sebagai kepala Negara
Gereja di Italia Tengah ia tidak memiliki kekuatan politik yang cukup.
Sebenarnya paus sendiri menyebabkan bahwa keadaan ini timbul. Campur tangan
Innocentius III dalam pemilihan kaisar Jerman di kemudian hari menyebabkan
keruntuhan keluarga kekaisaran. Dengan demikian paus kehilangan alat penting
untuk mengatur Jerman. Sekaligus kemunduran Jerman mengakibatkan bahwa Perancis
dan Inggris menjadi lebih kuat, sedangkan raja Inggris dan Perancis tidak dapat
diatur seperti kaisar Jerman dahulu.
Hal itu dialami oleh Paus Bonifatius VIII (1294-1308) ketika ia
bertengkar dengan raja Perancis dan Inggris tentang uang. Paus mau melarang
negara untuk memungut pajak dari gereja, sedangkan kedua raja mau melarang
gereja untuk mengekspor uang ke paus di Roma. Dalam pertikaiannya dengan Raja
Perancis Bonifatius VIII pada tahun 1302 mengeluarkan sepucuk surat keputusan
(bulla, yang disebut menurut kata-kata pertama Unam Sanctam) yang mengandung
teori tentang kemahakuasaan paus di dunia ini dalam bentuk yang paling luas.
Kesimpulan paus bahwa semua orang yang mau memperoleh keselamatan harus takluk
kepada paus. Akan tetapi raja Perancis tidak takluk. Ia mengirim pasukannya ke
Roma dan mempenjarakan paus, yang tidak lama kemudian meninggal.
Perang Salib Keempat, Kelima dan Keenam
Perang salib keempat terjadi pada
abad ini, yakni tahun 1202 – 1204 dimulai oleh paus Innocentius III, dengan
maksud yang sebenarnya untuk memajukan perniagaan Venetia yang bersaingan hebat
dengan Byzantium. Kota ini dialahkan dan kerajaan Timur diganti dengan suatu
kerajaan Latin. Peraturan – peraturan Gereja juga diubah menurut adat gereja
dari Roma. Pada tahun 1261 kaisar mengusir pula orang – orang Barat dari
ibukotanya, tetapi oleh segala huru-hara ini kekaisaran Timur itu sangat
dilemahkan, sehingga kurang sanggup melawan orang Islam.
Tatkala orang – orang dewasa tak
suka lagi berangkat ke Palestina, diusahakanlah suatu perang salib anak – anak
saja, tetapi tidak seorang pun dari 30.000 anak itu sampai ke tanah suci. Kebanyakan
mereka mati kelaparan atau jatuh ke tangan saudagar – saudagar budak.
Perang salib keenam juga terjadi
pada abad ini yaitu pada tahun 1228 – 1229. Kaisar Frederick II mendapat
Yerusalem, Betlehem, Nasaret dan Pantai Laut dengan jalan diplomasi. Tetapi
pada tahun 1244 Yerusalem jatuh lagi ke tangan Islam, dan akhirnya zaman perang
– perang salib dihentikan, sesudah bandar Akko direbut oleh orang Islam pada
tahun 1291.
Sumber
1.
Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawaban. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009)
2.
Yosef Lalu, Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik,
(Yogyakarta : Kanisius, 2010)
3.
H. Berkhof & I.H. Enklaar. Sejarah Gereja, (Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 2009)
Sumber yg kau pakai utk menjelaskan sejarah Gereja adalah sumber sekunder yg isinya semua keliru Anda benar benar menyedihkan dan payah!!!!! Anda tidak bisa membedakan sumber sejarah yg aslinya dgn yg dibuat buat atas dasar anti
ReplyDelete