KoreshInfo

SYARAT-SYARAT GURU PROFESIONAL DAN CIRI-CIRI PROFESI KEGURUAN

SYARAT-SYARAT GURU PROFESIONAL DAN CIRI-CIRI PROFESI KEGURUAN (Dr. Rusman, M.Pd) § Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang...

Tuesday 23 February 2016

BEBERAPA PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN MENURUT BEBERAPA PARA AHLI



1.      Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang berarti perantara atau pengantar.[1] Media adalah perantara atau pengantar pesan dari si pengirim (komunikator atau sumber/source) kepada si penerima (komunikan atau audience/receiver).
Kata ”media” berasal dari bahasa latin Medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. Menurut KBBI, media dapat diartikan sebagai perantara, penghubung; alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk, yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya). Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Pengertian umumnya adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian media menurut rumusan para ahli yakni sebagai berikut :
Menurut Azhar Arsyad dalam bukunya mengatakan : “Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu  perantara  atau  pengantar  sumber  pesan dengan penerima pesan“[2]
Gagne mengartikan media sebagai berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Menurut Dede Rosyada, media berasal dari bahasa latin yakni medius secara harafiah diartikan tengah, pengantar atau perantara berarti berada di dua posisi antara guru dan bahasanya.[3]
Menurut Heinich dan Molenda, dkk. (1996), media diartikan sebagai alat komunikasi yang membawa pesan dari sumber ke penerima; alat komunikasi berisi pesan, yang memungkinkan peserta didik dapat berinteraksi dengan pesan secara langsung.[4]
Heinich, Molenda, dan Russel menyatakan bahwa : “A medium (plural media) is a channel of communication, example include film, Television, diagaram, printed materials, computers, and instructors. (media adalah saluran komunikasi termasuk film, televisi, diagram, materi tercetak, komputer, dan instruktur) batasan media sebagai segala bentuk saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan memberikan pesan atau informasi. NEA (National Education Assosiation) memberikan batasan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak, audio visual, serta peralatannya.[5]
Dikaitkan dengan pembelajaran, media dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa materi ajar dari pengajar kepada peserta didik sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam mengajar, panca indra dan seluruh kesanggupan seorang perlu dirangsang, digunakan dan dilibatkan sehingga ia tak hanya mengetahui, melainkan dapat memakai dan melakukan apa yang dipelajari. Panca indra yang paling umum dipakai dalam mengajar adalah mendengar. Melalui mendengar anak mengikuti peristiwa demi peristiwa dan ikut merasakan seolah-olah anak melihat sesuatu dari apa yang diceritakan. Namun menurut ilmu pendidikan berpendapat bahwa hanya 20% dari apa yang didengar yang dapat diingat kemudian hari. Kesan yang lebih dalam dapat dihasilkan jikalau apa yang diceritakan “dilihat” melalui sebuah gambar, model atau benda. Dengan demikian melalui mendengar dan melihat akan diperoleh kesan yang lebih dalam. Menurut Asnawir “Media pembelajaran (alat peraga) seperti :gambar, peta, papan tulis, box pasir, dan lain-lain dapat menolong anak untuk mengingat dengan lebih baik, yaitu mampu mengingat sampai 50% dari apa yang didengar dan dilihatnya”.[6]
Jhon D. Lutheru,  menyatakan bahwa “Sebelum kata media atau istilah media yang menjadi popular dalam dunia pendidikan dewasa ini khususnya dalam interaksi belajar-mengajar, maka istilah yang cenderung memiliki pengertian yang mula-mula dikenal orang dengan istilah (Audio Visual Aids / Alat Pandang Dengar)” selanjutnya disebut Intructional Material, dan kini yang lazim digunakan dalam dunia Pendidikan Nasional adalah Media Pendidikan atau Media Pembelajaran (Instructional Media)[7].
Menurut E. De Corte media pembelajaran sebagai suatu sarana non personal (bukan manusia) yang digunakan atau disediakan oleh tenaga pengajar, yang memegang peranan dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan instruksional.[8]
Sri Anitah dan Noorhadi mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah setiap orang, bahan, alat atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap.[9]
Benson H. Clarence mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat yang membantu pengajar untuk menyampaikan kepada pelajar menegani fakta-fakta, keterampilan,sikap, pengatahuan, pengertian dan penghargaan.[10]
Oemar Hamalik,  menyatakan bahwa “ Media Pemebalajaran adalah alat Metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka mengekfektifan komunikasi dan interaksi antara guru dan murid dalam proses Pendidikan dan Pengajaran Sekolah[11].
Selanjutnya Sudjarwa, mengemukakan bahwa “Media Instruksional” adalah segala wujud yang dapat dipakai sumber belajar yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan murid, sehingga mendorong terjadinya proses belajar-mengajar ke tingkat yang lebih efektif sebagai berikut :
a.       “Media adalah alat yang dapat membantu interaksi belajar-mengajar yang berfungsi menjelaskan makna pesan yang ditampilkan sehingga pengajaran dapat tercapai dengan sempurna”.
b.      Media Pembelajaran dapat digunakan dalam rangka hubungan (Interkasi) dalam pengajaran antara guru dan murid.
c.       Media berperan sebagai alat perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga murid tidak mudah bosan dalam mengikuti proses belajar-mengajar”. [12]
Menurut Miarso media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan  untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali.[13]
Menurut Gerlach mengemukakan secara umum bahwa media pembelajaran itu meliputi orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa, atau untuk menambah keterampilan.[14]
Blattner Doris mengemukakan bahwa media pembelajaran atau sering disebut dengan alat peraga sangat penting untuk dipakai dalam tiap pelajaran, sebab siswa dapat mengingat 50% dari bahan pelajaran yang kelihatan, tetapi kira-kira hanya 10% dari bahan pelajaran lisan. Media pembelajaran yang biasanya digunakan untuk siswa adalah: gambar, papan tulis, benda alam, bagan, papan flannel, peta dan temple.[15]
Menurut Ibrahim dan Nana Syahodiah defenisi media pembelajaran sebagai berikut: “Media pembelajaran merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian siswa, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar”.[16]
Menurut Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2002), “bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap”.[17] Dalam pengertian ini guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara cenderung diartikan untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal”.
Menurut Hamalik (1994) “bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal”. [18]
Menurut National Education Association NEA (dalam Sadiman, dkk., 1990), “media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya[19].
Media merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar.  Arief  S. Sardiman mengatakan: “Istilah media berasal dari Bahasa Latin yakni Medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantara.”[20]
Menurut Flemming yang dikutip oleh Arif S. Sardiman, mengatakan: “Media yang sering diganti dengan kata mediator di samping sebagai sistim penyampai atau pengantar juga sebagai penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak utama dalam proses belajar mengajar siswa.
Selanjutnya Santoso S. Hamidjojo yang dikutip oleh Latuheru, mengatakan: “Media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran yang dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar.”[21]
Menurut Buckminster Fuller dalam Haney & Ulmer, media adalah orang tua ketiga (guru adalah orang tua kedua).[22]

Untuk melihat jenis – jenis media pembelajaran kunjungi silahkan “www.koreshinfo.blogspot.com”





[1] Arif S.Sadiman. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h.6

[2] Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (PT. Raja Grafindo Persada,  2007)  h.3
[3] Dede Rosyada, Media Pembelajaran,( Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h.7

[4] Bambang Warsita,  Teknologi Pembelajaran: Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 121-125.

[5] Aect (Assosiation of Education and Communication Technology, 1977)

[6] H.Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta: Delia Citra Utama, J, 2002), h. 68-70

[7] Jhon.D.Lutheru , Pengertian Media Pembelajaran. 1999,  h. 15

[8] W. S. Winkel,  Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), h. 318-319.

[9] Udin Saripudin, Modul: Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Dirjen Bimas dan UT, 1996), h. 186.

[10] Benson H.,Clerence,Teknik Mengajar , ( Jakarta, Gandum Mas, 2000 ), h. 44

[11] Oemar Hamalik ,  Proses Belajar Mengajar.  (Bandung : Bumi Aksara 2008 ), h. 200

[12] Sudjarwa , Media Instruksional. (Jakarta : KBK 1992 ), h.258
[13] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran: Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 122.

[14] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 163.

[15] Blattner. Doris, Metode Mengajar Anak-anak Sekolah Minggu (Lembaga Literatur Baptis, 2006) h. 143

[16] Ibrahim R. dan Nana Syaodiah S, (Jakarta: Perencanaan Pengajaran, 2003), h. 112
[17] Arsyad A. (Media Pembelajaran, edisi 1. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 23

[18]Hamalik, O. (Media Pendidikan, cetakan ke-7, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1994)

[19]Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A., & Rahadjito (Media Pendidikan: Pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya, edisi 1, Jakarta: penerbit CV. Rajawali, 1990)

[20] Arief S Sardiman. Media Pembelajaran,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1969), h. 6

[21] Latuheru. Media Pembelajaran Dalam  Proses Belajar Mengajar Masa kini, (Jakarta; Depdiknas, 1988), h. 14

[22] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 208

PENGERTIAN PTK (PENELITIAN TINDAKAN KELAS) DAN LANGKAH – LANGKAH MELAKSANAKAN PTK



PENGERTIAN PTK (PENELITIAN TINDAKAN KELAS) DAN
LANGKAH – LANGKAH MELAKSANAKAN PTK

a.      Pengertian PTK (Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian tindakan kelas merupakan terjemahan dari classroom action research (CAR), yaitu satu action research yang dilakukan di kelas. Classroom action research diawali dari istilah action research. 
Untuk mempermudah memahami pengertian PTK maka berikut akan diuraikan pengertian tiga unsur atau konsep yang terdapat dalam penelitian tindakan kelas yakni :
1.      Penelitian adalah aktivitas mencermati suatu objek tertentu melalui metodologi ilmiah dengan mengumpulkan data-data dan dianalisis untuk menyelesaikan suatu masalah.
2.      Tindakan adalah suatu aktivitas yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu yang berbentuk siklus kegiatan dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu atau kualitass proses belajar mengajar.
3.      Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari seorang guru.[1]
Beberapa pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menurut para ahli yakni Menurut David Hopkins, PTK mengandung pengertian bahwa PTK adalah sebuah bentuk kegiatan refleksi diri yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan dalam suatu situasi kependidikan untuk memperbaiki rasionalitas dan keadilan tentang :

1)      Praktik-praktik kependidikan mereka;
2)      Pemahaman mereka tentang praktik-praktik tersebut dan
3)      SITUASI dimana praktik-praktik tersebut dilaksanakan.
Menurut Rapoport dan Hopkins, pengertian penelitian tindakan kelas adalah penelitian untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dengan kerja sama dalam kerangka etika yang disepakati bersama.[2] 
Menurut Hopkins, “PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan – tindakannya dalam melaksanakan tugas dan memperdalam terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran.[3]
Menurut Kemmis dan MC. Taggart yaitu :  “PTK adalah studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja sendiri, yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan dengan sikap mawas diri.”[4]
Menurut Rochman Natawijaya,   “PTK adalah pengkajian terhadap permasalahan praktis yang bersifat situasional dan kontekstual, yang ditujukan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi, atau memperbaiki sesuatu.”[5]
Menurut pendapat Suyanto  “PTK adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan – tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan/atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara professional.”[6]
Menurut PGSM pengertian “PTK adalah sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan.[7]
Menurut Kasihani PTK adalah penelitian praktis, bertujuan untuk memperbaiki kekurangan - kekurangan dalam pembelajaran di kelas dengan cara melakukan tindakan-tindakan. Upaya tindakan untuk perbaikan dimaksudkan sebagai pencarian jawab atas permasalahan yang dialami guru dalam melaksanakan tugasnya sehari – hari.[8]
Selanjutnya I.G.A.K Wardani, Kuswaya Wihardit; Noehi Nasution merumuskan pengertian penelitian tindakan kelas sebagai berikut : “penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat.”[9]



b.      Langkah – Langkah PTK
Melaksanakan PTK, memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang, agar hasil yang diperoleh dari PTK yang dilaksanakan mencapai hasil yang optimal. Menurut Zainal Aqib dkk, merumuskan langkah – langkah PTK sebagai berikut :
1.      Tahap 1 : Tahap Perencanaan
Dalam perencanaan PTK, terdapat tiga dasar, yakni :
-         Identifikasi masalah
-         Merumuskan masalah
-         Pemecahan masalah
2.      Tahap 2 : Acting (pelaksanaan)
3.      Tahap 3 : Observation (pengamatan)
4.      Tahap 4 : Refleksi
5.      Tambahan : Siklus – siklus dalam PTK[10]
---------------------------------------------------------------------------------------------------
1.      Tahap perencanaan
Langkah pertama pelaksanaan PTK adalah melakukan perencanaan secara matang dan teliti. Dalam perencanaan PTK, terdapat tiga dasar, yaitu identifikasi masalah, merumuskan masalah, dan pemecahan masalah. Pada masing-masing kegiatan, terdapat sub-sub kegiatan yang sebaiknya dilaksanakan untuk menunjang sempurnanya tahap perencanaan.



1).    Identifikasi Masalah
Langkah pertama dalam menyusun rencana PTK adalah melakukan identifikasi permasalahan. Identifikasi ini mirip seperti diagnosis yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya. Jika diagnosisnya tepat, maka obat yang diberikan pasti mujarab. Sebaliknya, jika diagnosisnya salah, maka resep obatnya pasti juga tidak tepat sasaran. Demikian pula dalam PTK, identifikasi yang tepat akan mengarahkan pada hasil penelitian, sehingga dapat bermanfaat bagi peningkatan hasil belajar siswa. Sebaliknya, identifikasi masalah yang keliru hanya akan membuat penelitian menjadi sia-sia, disamping memboroskan waktu dan biaya. Identifikasi masalah menjadi titik tolok bagi perencanaan PTK yang lebih matang. Sebab, tidak semua masalah belajar siswa dapat diselesaikan dengan PTK, sebagaimana tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan resep dokter spesialis tertentu. Hanya masalah-masalah tertentu yang dapat diatasi dengan PTK, sebagaimana penyakit tertentu yang hanya bisa sembuh dengan resep tertentu pula. Empat langkah yang dapat dilakukan agar identifikasi masalah mengenai sasaran.
a.       Masalah Harus Rill, masalah yang diangkat adalah masalah yang dapat dilihat, dirasakan, dan didengar secara langsung oleh guru.
b.      Masalah Harus Problematik
Banyak masalah di sekolah, tetapi, tidak semua masalah layak diangkat dalam PTK. Hanya permasalahan yang problematiklah yang layak diangkat dalam PTK. Permasalahan yang bersifat problematik adalah permasalahan yang bisa dipecahkan oleh guru, mendapat dukungan literatur yang memadai, dan ada kewenangan untuk mengatasinya secara penuh.
c.       Manfaatnya Jelas
Hasil penelitian harus bermanfaat secara jelas. Tentu, hal ini berkaitan erat dengan kemampuan dalam mengidentifikasi atau mendiagnosis masalah. Hasil PTK harus dapat dirasakan, bagaikan obat yang menyembuhkan. Untuk mendapatkan manfaat PTK yang maksimal, harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut dibiarkan? Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut berhasil diatasi? Dan, tujuan pendidikan mana yang akan gagal jika masalah tersebut tidak teratasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menuntun para pelaku PTK untuk dapat menemukan hasil atau “obat” yang mujarab.
d.      Masalah Harus Fleksibel
Masalah yang hendak diteliti harus bisa diatasi dengan mempertimbangkan kemampuan peneliti, waktu, biaya, tenaga, sarana prasarana, dan lain sebagainya. Jadi, tidak setiap masalah yang riil, problematik, dan bermanfaat secara jelas dapat diatasi dengan PTK.

2).    Analisis Penyebab Masalah dan Merumuskannya
Langkah kedua dalam merencanakan PTK adalah menganalisis berbagai kemungkinan penyebab munculnya permasalahan yang diangkat. Jadi, setelah menemukan masalah yang rill, problematik, bermanfaat, dan fleksibel, maka masalah tersebut harus ditemukan akar penyebabnya. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menemukan penyebab masalah. Beberapa di antaranya adalah dengan menyebar angket ke siswa, mewawancarai siswa, observasi langsung, dan lain sebagainya. Di samping itu, peneliti juga bisa melakukan wawancara dengan siswa dan observasi langsung. Kemudian, semua data dari segala sumber tersebut dikumpulkan dan dianalisis secara kolaboratif sehingga penyebab utama munculnya masalah dapat ditemukan.
Akar masalah tersebut harus digali sedalam-dalamnya sehingga ditemukan akar masalah yang benar-benar menjadi penyebab utama terjadinya masalah. Akar masalah inilah yang nantinya akan menjadi tolok ukur tindakan. Dengan menemukan akar masalah, maka sama halnya dengan si peneliti telah menemukan separuh dari solusi masalah. Sebab, solusi masalah sebenarnya merupakan kebalikan dari akar masalah.
3).    Ide untuk Memecahkan Masalah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akar masalah menjadi tumpuan bagi rencana tindakan untuk mengatasi masalah. Rencana tindakan sebagai langkah mengatasi masalah inilah yang disebut dengan ide orisinal peneliti. Tetapi, sebelum memutuskan tindakan apa yang akan dikenakan kepada siswa, peneliti harus mengembangkan banyak alternatif sebagai pengayaan tindakan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peneliti harus mempunyai dukungan teori atau referensi rujukan atas tindakan yang akan dikenakan kepada siswa. Sebab, PTK adalah kegiatan ilmiah sehingga tanpa adanya dukungan teori yang memadai, sebaik apa pun tindakan guru, maka hal itu tidak akan dianggap sebagai perilaku ilmiah. Setelah identifikasi masalah, menemukan akar masalah, merumuskan masalah, dan menemukan alternatif tindakan sebagai solusi masalah, maka peneliti dapat membuat judul penelitian.
2.      Tahap Acting (Pelaksanaan)
Tahap kedua dari PTK adalah pelaksanaan. Pelaksanaan adalah menerapkan apa yang telah direncanakan pada tahap satu, yaitu bertindak di kelas. Hendaknya perlu diingat bahwa pada tahap ini, tindakan harus sesuai dengan rencana, tetapi harus terkesan alamiah dan tidak direkayasa. Hal ini akan berpengaruh dalam proses refleksi pada tahap empat nanti dan agar hasilnya dapat disinkronkan dengan maksud semula.
3.      Tahap Observation (Pengamatan)
Tahap ketiga dalam PTK adalah pengamatan (observing). Prof. Supardi menyatakan bahwa observasi yang dimaksud pada tahap III adalah pengumpulan data. Dengan kata lain, observasi adalah alat untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran. Pada langkah ini, peneliti harus menguraikan jenis data yang dikumpulkan, cara mengumpulkan, dan alat atau instrumen pengumpulan data (angket/wawancara/observasi, dan lain-lain).
Jika PTK dilakukan secara kolaboratif, maka pengamatan harus dilakukan oleh kolaborator, bukan guru yang sedang melakukan tindakan. Walaupun demikian, antara tindakan (dilakukan oleh guru) dan pengamatan (dilakukan oleh kolaborator), keduanya harus berlangsung dalam satu waktu dan satu tempat atau kelas. Inilah sebabnya, mengapa Suharsimi mengatakan kurang tepat jika pengamatan disebut sebagai tahap ketiga. Sebab, antara tahap kedua dan tahap ketiga itu berlangsung secara bersamaan. Walaupun demikian, tidak ada salahnya kita menyebut “pengamatan” sebagai tahap ketiga dalam PTK. Hanya saja, sebutan ini hanya untuk membedakan antara tindakan dan pengamatan, bukan menunjukkan suatu urutan.
Ketika guru sedang melakukan tindakan di kelas, secara otomatis seluruh perhatiannya terpusat pada reaksi siswa dan tindakan selanjutnya yang akan diterapkan. Atas dasar ini, tidak mungkin guru mengamati tindakannya sendiri. Di sinilah diperlukan seorang pengamat yang siap merekam setiap peristiwa berkaitan dengan tindakan guru. Sambil merekam peristiwa yang terjadi, pengamat sebaiknya juga membuat catatan-catatan kecil agar memudahkan dalam menganalisis data.
4.      Tahap Refleksi
Tahap keempat atau terakhir dalam PTK adalah refleksi (reflecting). Refleksi adalah kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang telah dilakukan. Refleksi juga sering disebut dengan istilah "memantul.” Dalam hal ini, peneliti seolah memantulkan pengalamannya ke cermin, sehingga tampak jelas penglihatannya, baik kelemahan dan kekurangannya.
Jika penelitian dilakukan secara individu, maka kegiatan refleksi lebih tepat disebut sebagai evaluasi diri. Evaluasi diri adalah kegiatan untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Ia harus jujur terhadap dirinya sendiri dalam mengakui kelemahan dan kelebihannya. Dalam hal ini, guru dan peneliti juga harus mengakui sisi-sisi mana yang telah sesuai dan sisi mana harus diperbaiki. Refleksi atau evaluasi diri baru bisa dilakukan ketika pelaksanaan tindakan telah selesai dilakukan. Refleksi akan lebih efektif jika antara guru yang melakukan tindakan berhadapan langsung atau diskusi dengan pengamat atau kolabolator. Tetapi, jika PTK dilakukan secara sendirian, maka refleksi yang paling efektif adalah berdialog dengan diri sendiri untuk mengetahui sisi-sisi pembelajaran yang harus dipertahankan dan sisi-sisi lain yang harus diperbaiki.
5.      Tambahan: Siklus-Siklus dalam PTK
Siklus adalah putaran dari suatu rangkaian kegiatan, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, hingga pada evaluasi. Dalam hal ini, yang dimaksud siklus-siklus dalam PTK adalah satu putaran penuh tahapan-tahapan dalam PTK, sebagaimana disebutkan di atas. Jadi, satu siklus adalah kegiatan penelitian yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Jika dalam PTK terdapat lebih dari satu siklus, maka siklus kedua dan seterusnya merupakan putaran ulang dari tahapan sebelumnya. Hanya saja, antara siklus pertama, kedua, dan selanjutnya selalu mengalami perbaikan setahap demi setahap. Jadi, antara siklus yang satu dengan yang lain tidak akan pernah sama, meskipun melalui tahap-tahap yang sama.
Setiap akhir refleksi selalu menjadi babak baru bagi siklus berikutnya. Artinya, guru dan pengamat harus selalu diskusi setiap akhir refleksi untuk merencanakan tindakan baru atau memasuki siklus kedua. Dengan proses atau tahapan yang sama, guru dapat melanjutkan ke siklus-siklus berikutnya, jika memang sampai pada siklus tertentu ia belum merasa puas atau belum berhasil mendongkrak prestasi belajar siswa. Demikian seterusnya, sehingga semakin banyak siklus yang dilalui, semakin baik hasil yang diperoleh. Hasilnya adalah, kepuasan guru dan kepuasan siswa atas prestasi belajarnya.


[1] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2011), hal.45

[2] Kunandar, Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta : PT. Rajawali Pers, 2011)

[3] Masnur Muslich, Melaksanakan PTK Itu Mudah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal.8

[4] Masnur Muslich, Melaksanakan PTK Itu Mudah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal.8

[5] Masnur Muslich, Melaksanakan PTK Itu Mudah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal.9

[6] Masnur Muslich, Melaksanakan PTK Itu Mudah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal.9

[7] Masnur Muslich, Melaksanakan PTK Itu Mudah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), hal.8

[8] Sukayati, Penelitian Tindakan Kelas, (Yogyakarta : PPPPTK Matematika, 2008), hal.8

[9] I.G.A.K Wardani, Kuswaya Wihardit; Noehi Nasution, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2006), hal.1.4
[10] Suyadi,  Panduan Penelitian Tindakan Kelas, (Jogyakarta : Diva Press, 2010), hal.49

Sunday 14 February 2016

PENERAPAN STRATEGI PENGAJARAN TUHAN YESUS TERHADAP PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI SMA KELAS X PENCAWAN MEDAN TA. 2010 / 2011

PENERAPAN STRATEGI PENGAJARAN TUHAN YESUS TERHADAP PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 
DI SMA KELAS X PENCAWAN MEDAN
TA. 2010 / 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat dibendung, tentu membawa pengaruh pada dunia pendidikan. Idealnya dunia pendidikan harus mengikuti perkembangan tersebut dengan merubah paradigma[1] pendidikan. Seorang guru harus menyadari bahwa tugasnya dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian informasi kepada peserta didik. Seorang guru harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan proses pembelajaran agar tidak ketinggalan zaman, seorang guru harus memiliki strategi pengajaran yang dinamis.
Strategi pengajaran yang baik akan mengatasi sebagian masalah yang ada di dalam dunia pendidikan. Wina Sanjaya mengemukakan:
“Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesi adalah masalah lemahnya proses pembelajaran, dimana dalam proses pembelajaran, siswa kurang diberi motivasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Seringkali proses pembelajaran diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal informasi; otak siswa dipaksa untuk mengingat dan menyimpan berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi itu.”[2]

Pernyataan di atas sering kali kita jumpai pada semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran pendidikan agama Kristen yang tidak dapat mengembangkan sikap yang sesuai dengan norma-norma agama. Ini dikarenakan strategi pembelajaran tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas, proses pembelajaran hanya diarahkan agar anak bisa menguasai dan menghafal materi pelajaran.
Selaku calon tenaga pengajar perlu menyadari bahwa pendidikan di sekolah dewasa ini terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan ajar yang harus dihafal, pendidikan tidak diarahkan untuk membangun dan mengembangkan karakter serta potensi yang dimiliki siswa itu sendiri. Proses pendidikan tidak pernah diarahkan membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia yang kreatif dan inovatif sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I, ayat 1:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[3]

Dari Sistem Pendidikan Nasional tersebut penulis merumuskan beberapa point penting:
1.      Pendidikan adalah usaha sadar yang terencana.
2.      Pendidikan terencana itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran.
3.      Suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar siswa dapat mengembangkan potensi dirinya.
4.      Tujuan akhir dari pendidikan itu adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan di atas, terdapat tiga aspek pendidikan yaitu: sikap, kecerdasan dan keterampilan yang merupakan arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual serta pengembangan keterampilan anak didik sesuai dengan kebutuhannya.
Dewasa ini dalam proses pembelajaran, masih banyak guru melakukan kesalahan-kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan/kekeliruan tersebut sering kali tidak disadari oleh para guru, bahkan masih banyak diantaranya yang menganggap hal itu wajar. Berikut ini akan diuraikan kesalahan/kekeliruan yang sering dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Menurut E. Mulyasa, sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran, yakni:
1.      Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran
Dengan berbagai alasan, banyak guru yang mengambil jalan pintas dengan tidak membuat persiapan ketika mau melakukan pembelajaran, sehingga guru mengajar tanpa persiapan. Mengajar tanpa persiapan sangat mengganggu perkembangan peserta didik.

2.      Menunggu peserta didik berperilaku negatif
Tidak sedikit guru yang sering mengabaikan perkembangan kepribadian peserta didik, serta lupa memberikan pujian kepada mereka yang berbuat baik, dan tidak membuat masalah. Biasanya guru baru memberikan perhatian kepada peserta didik ketika ribut, tidak memperhatikan, atau mengantuk di kelas, sehingga menunggu peserta didik berperilaku buruk.

3.      Menggunakan Destructive Discipline
Seringkali guru memberikan hukuman kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kesalahan yang dilakukannya, tidak jarang guru yang memberikan hukuman melampaui batas kewajaran pendidikan (malledecatif), dan banyak guru yang memberikan hukuman kepada peserta didik tidak sesuai dengan jenis kesalahan. Seringkali guru memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik di luar kelas (pekerjaan rumah), namun jarang sekali guru yang mengoreksi pekerjaan peserta didik dan mengembalikannya dengan berbagai komentar, kritik dan saran untuk kemajuan peserta didik. Yang sering dialami peserta didik adalah bahwa guru sering memberikan tugas, tetapi tidak pernah memberikan umpan balik terhadap tugas-tugas yang dikerjakan.
4.      Mengabaikan Perbedaan Peserta Didik
Setiap peserta didik memiliki perbedaan yang unik, mereka memiliki kekuatan, kelemahan, minat, dan perhatian yang berbeda-beda. Latar belakang keluarga, sosial ekonomi dan lingkungan, membuat peserta didik berbeda dalam aktivitas, kreatifitas, intelegensi, dan kompetensinya. Guru seharusnya dapat mengidentifikasi perbedaan individual peserta didik, dan menetapkan karakteristik umum yang menjadi ciri kelasnya, dari ciri-ciri individual yang menjadi karakteristik umumlah yang seharusnya guru memulai pembelajaran.
5.      Merasa Paling Pandai
Kesalahan yang berawal dari kondisi bahwa pada umumnya para peserta didik di sekolah usianya relatif lebih muda dari gurunya, sehingga guru merasa bahwa peserta didik tersebut lebih bodoh dibanding dirinya, peserta didik dipandang sebagai gelas yang perlu diisi air kedalamnya.
6.      Tidak Adil (Diskriminatif)
Banyak guru yang tidak adil, sehingga merugikan perkembangan peserta didik, dan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan guru, terutama dalam penilaian. 
7.      Memaksa Hak Peserta Didik
Guru bisa saja memiliki pekerjaan sampingan, memperoleh penghasilan tambahan, itu sudah menjadi haknya, tetapi tindakan memaksa bahkan mewajibkan peserta didik untuk membeli buku tertentu sangat fatal. Karena kondisi semacam ini seringkali membuat prustasi peserta didik.[4]

Kesalahan/kekeliruan di atas tersebut terjadi dikarenakan seorang guru tidak memiliki strategi pengajaran yang adalah merupakan rancangan dasar untuk mencapai tujuan dari suatu pembelajaran. Berbicara tentang strategi mengajar adalah berusaha memberi jawaban atas pertanyaan : “Bagaimana mengajar yang baik?”.
Pada mulanya istilah ‘strategi’ digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan[5]. Strategi berasal dari bahasa Yunani “strategos” yang berarti jenderal atau panglima, sehingga strategi diartikan sebagai ilmu kejenderalan atau ilmu kepanglimaan[6].
Strategi belajar mengajar merupakan rancangan dasar bagi seorang guru bagaimana ia membawakan pengajarannya terhadap anak didik di kelas secara bertanggung jawab. Strategi dalam dunia pendidikan adalah “suatu seni dan ilmu untuk membawakan pengajaran di kelas sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.”[7]
Andar Ismail dalam bukunya “Ajarlah Mereka Melakukan” mengutip pendapat G. Soegiasman, tentang hakikat dan tujuan PAK[8], sebagai berikut:
PAK sebagai tugas panggilan gereja adalah usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dengan pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati Kasih Allah dalam Yesus Kristus, yang dinyatakannya dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan hidupnya.[9]

Dari kutipan hakekat dan tujuan PAK di atas, pengajaran atau pendidikan PAK hendaknya membangun kepercayaan Kristen dalam diri para murid dengan jalan menyampaikan pengetahuan.
Beberapa tahun terakhir ini, disadari atau tidak, bangsa Indonesia khususnya siswa-siswa SMA termasuk didalamnya peserta didik SMA Kelas X Pencawan Medan mengalami kemerosotan dalam kehidupan moral. Bila menyoroti kehidupan moral para peserta didik beberapa tahun belakangan ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai tenaga pendidik, khususnya sebagai guru PAK mempunyai kewajiban untuk membentengi moral, jiwa para peserta didik, untuk menghadapi kecanggihan tehnologi sekarang yang dapat menggoda dan menggocang jiwa peserta didik untuk meninggalkan nilai-nilai ke-Kristenan dengan memperbaiki strategi pembelajaran untuk menarik minat peserta didik untuk mengikuti PAK.
Seorang guru PAK dalam proses pengajarannya harus bercermin pada strategi pengajaran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sang Guru Agung. Tuhan Yesus dalam pengajaranNya memiliki prinsip pengajaran seperti yang terdapat dalam Injil Sinoptis, khususnya Injil Matius pasal 5 – 7.
Injil Matius pasal 5 – 7 yang biasa disebut dengan “Khotbah Yesus” di Bukit sebenarnya adalah suatu “pengajaran” lebih tepatnya dapat kita katakan sebagai sebuah pemberitaan dalam bentuk pengajaran, dan cara Yesus mengajar ketika itu bisa dikatakan berhasil, hal ini dapat kita lihat dalam Matius 7:28 “… Takjublah orang banyak mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai seorang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli taurat mereka”.
Perjanjian Baru memuat banyak prinsip yang dipakai Tuhan Yesus dalam mengajar murid-muridNya. Prinsip-prinsip Tuhan Yesus dalam pengajaranNya masih sangat cocok untuk diterapkan pada Pendidikan Agama Kristen untuk anak didik zaman sekarang ini.
Prinsip – prinsip pengajaran Tuhan Yesus menurut kitab injil Matius 5 – 7, yaitu:
1.      Tuhan Yesus mengajar melalui hidup dan perbuatanNya (Matius pasal 4; Mat.4:23-24; Mat.4:25).
2.      Tuhan Yesus memakai pengalaman pendengar-pendengarNya untuk mengajar mereka. (Mat.13:1-9; Mat.5:15-16).
3.      Tuhan Yesus terkadang memandang obyek-obyek yang konkrit yang dilihat. (Mat.12:16-17; Mat.6:25-34).
4.      Tuhan Yesus memakai bahan / materi / media yang tepat dan sederhana untuk mengajar. (Mat. 4:4, Mat.5:5).
5.      Tuhan Yesus selalu memberikan kepada pendengarNya tanggung jawab untuk mengambil keputusan secara pribadi. (Mat.7:24-27).[10]



Selain kelima prinsip di atas Tuhan Yesus juga memakai prinsip-prinsip pengajaran yang lain yang dikutip oleh Andar Ismail, yakni: “Tuhan Yesus dalam mengajar memakai prinsip pengajaran “dimulai dari apa yang diketahui nara didik”[11].
            Robert R. Boehlke dalam bukunya: “Siapakah Yesus Sebenarnya?” juga mengemukakan beberapa prinsip pengajaran yang dilakukan Tuhan Yesus dalam pengajaranNya, yakni:
  1. Dalam pengajaranNya Tuhan Yesus memakai cara, yakni “Yesus memanfaatkan kebudayaan pada waktu itu kebudayaan Ibrani dengan tradisi syairnya.
  2. Yesus menggunakan bentuk argumentasi yang bertitik tolak dari salah satu kebenaran yang berterima bagi semua orang.
  3. Dalam pengajaranNya terkadang Yesus mengajukan pertanyaan untuk memperoleh jawaban yang dikehendakiNya sebagai landasan untuk menarik kesimpulan untuk lebih umum[12].

Dalam mengajar Tuhan Yesus tidak memakai satu metode saja tetapi Tuhan Yesus memakai banyak metode dalam menyampaikan pengajaranNya, diantaranya: metode ceramah, metode tanya jawab, metode perumpamaan, dalam hal menjawab pertanyaan pendengarNya, Ia tidak memberi jawaban langsung dengan tegas, tetapi ia memaksa si penanya itu berpikir dan memberi jawaban sendiri.
Pengajaran - pengajaranNya menunjukkan sikap dan perhatianNya terhadap jiwa manusia, yang sejajar dengan tujuan kedatanganNya sebagai juru selamat. Yesus mengajar dengan tujuan agar pengajaranNya dapat dipahami oleh si pendengar, dan juga mendorongnya untuk melakukan apa yang diajarkanNya. Yesus mengajar dengan tujuan agar umatNya dapat mengenal kebenaran dan memperoleh keselamatan.
Bercermin pada prinsip - prinsip pengajaran yang dimiliki oleh Tuhan Yesus, maka seorang guru yang ingin mencapai keberhasilan dalam mengajar perlu menetapkan tujuan dari pengajarannya, karena tanpa tujuan yang jelas maka pengajaran yang dilakukan tidak akan terarah pada sasaran yang tepat. Dan tujuan pengajaran tersebut hanya dapat dicapai dengan strategi pembelajaran yang baik.
Strategi pengajaran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus baik itu prinsipNya, metode pengajaranNya, teknikNya bisa dikatakan berhasil (lihat dalam Matius 7:28). Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang seberapa jauh penerapan strategi pengarajan Tuhan Yesus dalam pembelajaran PAK di SMA Kelas X Pencawan? Seberapa besar pencapaian tujuan PAK dengan strategi pengajaran yang sedang diterapkan di SMA Kelas X Pencawan Medan, melihat minat belajar para peserta didik terhadap mata pelajaran pendidikan agama Kristen di SMA Kelas X Pencawan masih relatif kurang berminat. Ini terlihat ketika proses pembelajaran PAK masih banyak peserta didik yang tidak membawa Alkitab, dalam mengikuti proses pembelajaran masih banyak yang mengantuk dan tidak memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru, peserta didik menganggap bahwa pendidikan agama Kristen tidak termasuk kategori mata pelajaran yang favorit yang tentu akan mempengaruhi pencapaian tujuan PAK.
Robert R. Boehlke, mengemukakan: “…..gaya mengajar Yesus mampu menarik perhatian khalayak ramai yang sudah bosan dengan cara pendekatan guru-guru biasa.”[13]  Berdasarkan kutipan di atas diharapkan seorang guru PAK mampu menerapkan gaya mengajar Yesus untuk mampu menarik perhatian peserta didik dalam mengikuti pembelajaran PAK.
Di lihat dari segi pencapaian kurikulum, proses pembelajaran PAK di SMA Pencawan Medan telah mencapai tujuannya. Dimana materi pembelajaran PAK yang ditetapkan pada silabus (buku panduan teknis kepada guru mata pelajaran PAK disiapkan oleh Ditjen Bimas Kristen), sesuai dengan jadwal pembelajaran yang sedang berlangsung di SMA kelas X Pencawan Medan.
Tetapi bila kita tinjau pengertian defenisi pendidikan sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I, ayat 1 yakni: pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana   …….  agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pengajaran PAK belum tercapai karena dari pengamatan penulis kebanyakan dari peserta didik belum bisa mengendalikan diri, kurang berakhlak, pengajaran yang diberikan oleh guru PAK dianggap hanya sebagai ilmu saja, tidak diterapkan di dalam lingkungan masyarakat, sekolah maupun di rumah.
Pengamatan penulis mengenai isi buku materi yang dipergunakan dalam proses pembelajaran PAK di SMA Kelas X Pencawan, belum mencukupi untuk pencapaian tujuan PAK itu sendiri. Untuk itu guru harus memiliki buku pedoman dari penerbit lain, untuk mencapai tujuan pembelajaran PAK.
Untuk memperoleh jawabannya maka penulis mengadakan penelitian di SMA Kelas X Pencawan Medan, dan dalam penelitian ini penulis mengangkat judul: “Penerapan Strategi Pengajaran Tuhan Yesus Terhadap Pencapaian Tujuan PAK di SMA Kelas X Pencawan Medan.”


B.     Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah yang akan diteliti. Sebelumnya penulis akan menguraikan apa yang dimaksud dengan mengidentifikasi masalah menurut Suwardi Lubis, dalam bukunya: Metodologi Penelitian Sosial, yakni:
“Mengidentifikasi masalah tidak lain menguraikan lebih jelas lagi tentang masalah yang telah ditetapkan didalam latar belakang penelitian. Didalamnya berisi perenungan eksplisit dari masalah-masalah yang terkandung dalam suatu fenomena perumusannya diurut sesuai dengan urutan intensitas pengaruhnya didalam topik penelitian. Selain itu perumusan ini mempunyai konsekuensi terhadap relevansi maksud dan tujuan, kegunaan penelitian. Kerangka pemikiran dan metode penelitiannya. Bentuk perumusannya dapat berupa kalimat pertanyaan atau dapat pula berupa kalimat pernyataan yang menggugah perhatian”.[14]







            Adapun masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis sebagai berikut:
1.      Apakah strategi pengajaran Tuhan Yesus dalam kitab Injil?
2.      Metode apa saja yang Yesus terapkan dalam mengajar para murid dalam kitab Injil?
3.      Bagaimanakah prinsip pengajaran Tuhan Yesus dalam kitab Injil?
4.      Apa dan bagaimana metode dan strategi pengajaran Yesus dalam kitab Injil?
5.      Apa dan bagaimana relevansi pengajaran Tuhan Yesus terhadap pencapaian tujuan PAK?
6.      Apakah tujuan PAK di SMA Kelas X Pencawan Medan belum sesuai dengan kurikulum?
7.      Bagaimana strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru PAK di SMA Kelas X Pencawan dalam pengajaran PAK?
8.      Bagaimana proses pengajaran PAK di SMA Kelas X Pencawan Medan apakah sudah berlangsung dengan baik?. 
C.     Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian, perlu dilakukan pembatasan masalah. Winarmo Surakhmad mengemukakan pendapatnya mengenai pembatasan masalah yakni: “Pembatasan masalah ini bukan hanya untuk mempermudah atau menyederhanakan masalah bagi penyelidikan tetapi juga untuk pemecahannya, tenaga dan kecekatan, biaya dan lain-lain yang timbul dari rencana tersebut”.[15]  Untuk itu dalam penelitian ini penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu: “Sejauhmana penerapan strategi pengajaran Tuhan Yesus Terhadap Pencapaian Tujuan PAK Di SMA Kelas X Pencawan Medan?.”
D.    Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian berfungsi untuk memperjelas masalah dan untuk menentukan siapa dan apa yang akan menjadi objek dalam penelitian tersebut, seperti yang dikatakan oleh Moh. Ali bahwa: “masalah yang diwujudkan pokok penelitian harus dimaksudkan secara jelas dan operasional”.[16] Demikian juga pendapat S. Nasution bahwa: “masalah harus dirumuskan dan dibatasi secara spesifik, itu merupakan suatu keharusan. Bila tidak akan mengakibatkan mahasiswa tidak akan mengetahui secara jelas keterangan dan data-data yang dikumpulkan dan kesimpulan apakah yang sejajar dengan tesis.”[17]
Untuk memperjelas fokus dan cakupan penelitian, maka penulis dalam penelitian ini membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Sejauhmana penerapan strategi pengajaran Tuhan Yesus dalam pengajaran PAK di SMA Kelas X Pencawan Medan?
2.      Berapa besarkah pencapaian tujuan pengajaran PAK di SMA Kelas X Pencawan Medan?
E.     Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian perlu adanya tujuan yang berfungsi sebagai acuan pokok terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga akan membuat peneliti bekerja secara terarah dalam mencari data dan mengambil langkah yang tepat dalam pemecahan masalah.
Muhammad Ali mengatakan, “tujuan penelitian pada dasarnya merupakan titik tolak atau titik tujuan yang akan dicapai seseorang melalui kegiatan penelitian yang dilaksanakan itu, sebab tujuan kegiatan penulisan harus mempunyai rumusan yang tegas, jelas, terperinci dan operasional.[18] Dari kutipan tersebut, maka penelitian menentukan arah dan sasaran yang akan dicapai, tujuan dilakukannya penelitian ini, adalah:
1.      Untuk mengetahui seberapa besar penerapan pengajaran PAK dengan menggunakan Strategi Pengajaran Tuhan Yesus di SMA Kelas X Pencawan.
2.      Untuk memperoleh data tentang pencapaian tujuan pengajaran PAK dengan menggunakan Strategi Pengajaran Tuhan Yesus di SMA Kelas X Pencawan.

F.      Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentu akan memberikan manfaat, baik bagi penulis itu sendiri maupun aspek-aspek yang terlibat didalamnya. Adapun penelitian ini ditulis memberi beberapa manfaat yaitu:
1.      Bermanfaat bagi penyelesaian penulisan skripsi dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Kristen (S.Pd.K).
2.      Bermanfaat untuk menambah pemahaman dan pengetahuan serta wawasan penulis mengenai strategi pengajaran.
3.      Bermanfaat untuk lembaga / sekolah yang diteliti merupakan bahan masukan/ acuan dan koreksi terhadap strategi pengajaran yang berlaku sebelumnya di sekolah tempat penelitian dilakukan.
4.      Bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi yang membaca khususnya mahasiswa STT Paulus Medan.




G.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan langkah-langkah atau urutan penulisan penelitian yang terdiri dari :
BAB I        PENDAHULUAN
                  Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penelitian.
BAB II       KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN HIPOTESA PENELITIAN
                  Dalam bab II ini akan diuraikan tentang kerangka teoritis, kerangka konseptual dan hipotesa penelitian.
BAB III      METODE PENELITIAN
                  Dalam bab III ini akan diuraikan tentang tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB IV     HASIL PENELITIAN
                  Dalam bab ini akan diuraikan tentang deskripsi hasil penelitian dan pengujian hipotesis.
BAB V       KESIMPULAN DAN SARAN
                  Dalam bab V ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran.




[1] Paradigma = Model Dalam Teori Pengetahuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

[2] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran. (Bandung:  Kencana Prenada Media Group, 2006) Hal.1
[3] Tim Visimedia,  Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Cet.2 (Jakarta: Visimedia, 2007). Hal. 2
[4] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Rosda, 2005) Hal. 19

[5] Wina Sanjaya, Op.Cit. Hal 125

[6] W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Grasindo, 2008) Hal. 1
[7] Ibid, Hal. 1

[8] PAK adalah singkatan dari Pendidikan Agama Kristen, untuk seterusnya dalam skripsi ini.

[9] Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1998) Hal.157.
[11] Andar Ismail,  Selamat Mengikut Dia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982) Hal.52

[12] Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985) Hal.46
[13] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen I. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). Hal. 65
[14] Suwardi Lubis, Metodologi Penelitian Sosial, (Medan: USU Press, 1997), Hal.95.
[15] Winarmo Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 2004) Hal.34

        [16] Moh. Ali, Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. (Bandung: Angkasa, 2002) Hal. 39

[17] S. Nasution, Metode Reseacrh Penelitian Ilmiah. (Bandung: Jemmars, 1984). Hal.20
       [18] Muhammad Ali, Op.Cit. Hal. 39