KoreshInfo

SYARAT-SYARAT GURU PROFESIONAL DAN CIRI-CIRI PROFESI KEGURUAN

SYARAT-SYARAT GURU PROFESIONAL DAN CIRI-CIRI PROFESI KEGURUAN (Dr. Rusman, M.Pd) § Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang...

Showing posts with label Pengertian Strategi Pengajaran. Show all posts
Showing posts with label Pengertian Strategi Pengajaran. Show all posts

Sunday, 14 February 2016

PENERAPAN STRATEGI PENGAJARAN TUHAN YESUS TERHADAP PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI SMA KELAS X PENCAWAN MEDAN TA. 2010 / 2011 - BAB II

PENERAPAN STRATEGI PENGAJARAN TUHAN YESUS TERHADAP PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 
DI SMA KELAS X PENCAWAN MEDAN

TA. 2010 / 2011


BAB II
KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN
HIPOTESA PENELITIAN

A.     KERANGKA TEORITIS
2.1.Penerapan Strategi Pengajaran Tuhan Yesus
2.1.1.      Pengertian Penerapan
Meskipun kata ‘penerapan’ kerapkali dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi sebelum membahas lebih lanjut tentang skripsi ini, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah ‘penerapan’.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Online, arti kata ‘penerapan’ yakni: (1).Proses, cara, perbuatan menerapkan, (2) pemasangan, (3) pemanfaatan; perihal mempraktikkan.[1] Selain itu dalam www.artikata.com arti kata ‘penerapan’ yakni: (1).penggunaan, (2) pemasangan, (3) aplikasi, (4) praktik, (5) produksi.[2] Pengertian ‘penerapan’ menurut Kamus Istilah Manajemen adalah sebagai berikut: “penerapan adalah pemanfaatan keterampilan dan pengetahuan baru di bidang…..”[3]
Dari pengertian di atas dapat dikatakan ‘penerapan’ adalah tindakan pelaksanaan atau pemanfaatan keterampilan pengetahuan baru terhadap sesuatu bidang untuk suatu kegunaan ataupun tujuan khusus. Sedangkan pengaruh penerapan adalah daya yang timbul yang dapat mengubah tindakan pelaksanaan di bidang pendidikan untuk suatu tujuan khusus.
2.1.2.      Pengertian Strategi
Pada bab I telah dikemukakan kata ‘strategi’ berasal dari bahasa Yunani “strategos” yang berarti jenderal atau panglima, sehingga strategi diartikan sebagai ilmu kejenderalan atau ilmu kepanglimaan. Strategi dalam pengertian kemiliteran ini berarti cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk mencapai tujuan perang[4].
Muhamad Fuad Athman mengatakan istilah ‘strategi’ adalah berasal dari kata ‘stratego’ (perkataan greek) yang bermaksud saluran-saluran yang ada bagi ketenteraan.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata strategi yaitu: “Ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu di perang dan damai; Ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh di perang, dikondisi yang menguntungkan”[6]. “Strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus”[7]
Istilah strategi menurut The International Webster’s Student Dictionary of The English Language mengandung arti ‘the science of planning and conducting military campaigns on a broad scale; skill in management; an ingeniuous plan or method’ (Ilmu perencanaan dan pelaksanaan gerakan militer secara luas; keahlian dalam manajemen; rencana yang cermat atau metode).
Menurut B.S. Sidjabat strategi dalam pembelajaran mengandung arti bagaimana guru merencanakan kegiatan mengajar (a plan for teaching) sebelum ia melaksanakan tugasnya bersama dengan anak didik.[8]
Pengertian strategi menurut Stephanie K. Marrus seperti yang dikutip oleh Sukristono, “Strategi didefenisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai”.[9]
Dalam buku yang sama, Hamel dan Prahalad mendefenisikan strategi yang sifatnya lebih khusus, yaitu:
“Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan, dengan demikian strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi”[10]

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mengemukakan pengertian strategi secara umum merupakan “suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.”[11]
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, menguraikan apa yang dimaksud dengan strategi sebagai berikut:
“Strategi merupakan pola umum rentetan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dikatakan pola umum, sebab suatu strategi pada hakekatnya belum mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis, suatu strategi masih berupa rencana atau gambaran menyeluruh. Sedangkan, untuk mencapai tujuan, memang strategi disusun untuk tujuan tertentu. Tidak ada suatu strategi, tanpa adanya tujuan yang harus dicapai”.[12] 
Dari defenisi tersebut di atas dapat kita simpulkan, bahwa ‘strategi’ adalah suatu proses penentuan rencana yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus yang berfokus pada tujuan jangka panjang untuk mencapai tujuan. Strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi.

2.1.3.      Pengertian Pengajaran
Untuk mempermudah pemahaman mengenai strategi pengajaran ada baiknya terlebih dahulu mengerti tentang kata ‘pengajaran’. Pengajaran dan pembelajaran merupakan istilah yang sering dikaitkan dengan dunia pendidikan. Padanan istilah ‘pengajaran’ sangatlah banyak seperti: proses, cara, perbuatan mengajar, atau mengajarkan. Sedangkan istilah yang terkait dengan pengajaran yakni: ajar, pengajar, ajaran, mengajar, pembelajaran, mengajari, mengajarkan.[13] 
Pendidikan selalu dipakai dalam dua arti pendidikan (education, opvoeding) dan pengajaran (teaching, onderwijs). Di jenjang TK masih tahap pendidikan, pengajaran dilarang, di jenjang SD sudah ada pengajaran seperti berhitung, menulis membaca sampai di kelas lima dan enam sudah lebih banyak pengajaran. Jenjang sekolah menengah (SLTA, SMA dan SMK) tekanan hampir seluruhnya pada pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan suasana belajar[14].
Para ahli telah banyak mencoba untuk merumuskan tentang pengertian dari ‘pengajaran’. Menurut Effandi Zakaria, pengajaran adalah satu pendekatan sistematik yang perlu dilakukan oleh guru dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan melalui pengkaedahan yang sesuai bagi mewujudkan pembelajaran berkesan di bilik darjah[15].
Shababuddin Hashim, Mahani Razali dan Ramlah Jantan dalam buku yang mereka ditulis bersama memberikan pengertian pengajaran dan pembelajaran yang sekaligus yang dapat membedakan keduanya, mereka mengemukan bahwa:
“Pengajaran dan pembelajaran adalah tumpuan individu dan masyarakat di abad ini. Pengajaran melibatkan guru dan pembelajaran pula melibatkan pelajar. Pembelajaran adalah suatu bentuk desakan bagi ‘kemandirian’ spesies manusia. Dalam belajar dan menuntut ilmu, pelajar perlukan tunjuk ajar seseorang guru. Pengajaran adalah proses berorientasikan matlamat[16] yang dirancang terlebih dahulu. Mereka juga mengutip pendapat Kamarudin yang mengatakan pengajaran adalah suatu proses pengendalian urusan bagi membolehkan pelajar mengetahui atau menyempurnakan sesuatu yang mereka tidak dapat lakukan sendiri sebelum itu. Mereka merumuskan bahwa pengajaran itu adalah aktiviti-aktiviti yang bermatlamat yang dilakukan oleh guru secara segaja dan disadari bagi membantu pembelajaran.[17]

Shababuddin Hashim, Mahani Razali dan Ramlah Jantan mengutip pengertian dari pembelajaran menurut para ahli yakni:
Menurut Salvin (1997), pembelajaran yaitu: sebagai perubahan tingkah laku individu disebabkan oleh pengalaman, Woolfolk (1998) berpendapat pembelajaran berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku. Woolfolk menegaskan pentingnya pengalaman dalam pembelajaran. Pembelajaran individu bermula daripada peringkat bayi. Crow and Crow (1980), pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan sikap, pembelajaran melibatkan cara baru membuat sesuatu kerja, pembelajaran berlaku berlaku dalam percubaan individu mengatasi rintangan atau menyesuaikan diri kepada situasi baru, pembelajaran berlaku sepanjang hayat seseorang, tidak kira di sekolah di rumah dan disekitarnya.[18]

Menurut Degeng dalam Hamzah B. Uno, pengertian pembelajaran atau pengajaran adalah “upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pembelajaran tersebut terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan dan didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada”.[19]
Menurut Oemar Hamalik, “Pengajaran adalah suatu sistem, artinya keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang berinterelasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelumnya”[20]
Dari defenisi pengajaran menurut para ahli yang diuraikan di atas, maka penulis menyimpulkan defenisi pengajaran adalah satu pendekatan sistematik yang dilakukan oleh guru dan melibatkan pelajar dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan, perubahan tingkah laku individu, keseluruhan komponen-komponen yang berinterelasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.1.4.      Komponen Pengajaran
Komponen-komponen yang dimaksud dalam pengertian pengajaran oleh Oemar Hamalik adalah sebagai berikut: Tujuan pendidikan dan pengajaran; 2). Peserta didik atau siswa; 3). Tenaga kependidikan khususnya guru; 4). Perencanaan pengajaran sebagai suatu segmen kurikulum; 5). Strategi pembelajaran; 6). Media pengajaran dan 7). Evaluasi pengajaran[21]
Ketujuh komponen tersebut di atas saling berhubungan dan saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pengajaran. Komponen peserta didik berinteraksi dengan komponen-komponen guru, metode/media, perlengkapan/ peralatan dan lingkungan kelas yang terarah pada pencapaian tujuan pengajaran. Komponen guru berinteraksi dengan komponen-komponen siswa, metode, media, peralatan, dan unsur tenaga kependidikan lainnya yang terarah dan berupaya mencapai tujuan pengajaran.
Pandangan tentang istilah pengajaran yang terus-menerus berkembang dan mengalami kemajuan. Oemar Hamalik menuliskan tingkat kemajuan pengajaran tersebut sebagai berikut:
1.      Pengajaran maksudnya sama dengan kegiatan mengajar.
Kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Kegiatan guru adalah yang paling aktif, paling menonjol dan paling menentukan. Pengajaran sama artinya dengan perbuatan mengajar.
2.      Pengajaran adalah interaksi belajar dan mengajar
Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara guru dan siswa. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Guru mengajar di satu pihak dan siswa belajar di lain pihak. Keduanya menunjukkan aktivitas yang seimbang, hanya berbeda peranannya saja.
3.      Pengajaran sebagai suatu sistem
Pengertian pengajaran sesungguhnya lebih luas dari pada hanya sebagai suatu proses atau prosedur belaka. Pengajaran adalah suatu sistem yang luas, yang mengandung banyak aspek.
4.      Pengajaran identik dengan pendidikan
Proses pengajaran adalah proses pendidikan, setiap kegiatan pengajaran adalah untuk mencapai tujuan pendidikan.[22]




2.1.5.      Strategi Pengajaran
1).    Pengertian Strategi Pengajaran
Setelah kita melihat pengertian dari ‘strategi’ dan ‘pengajaran’ berikutnya akan diuraikan pengertian dari ‘strategi pengajaran’ dimana terdapat berbagai pendapat tentang strategi pembelajaran sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli pembelajaran. Di atas telah dijelaskan bahwa istilah ‘pengajaran’ terkait dengan istilah ‘pembelajaran’. 
Menurut J.R. David dalam Wina Sanjaya mengemukakan dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai “a plan, method, or series of activities designed to achieves, a particular educational goal; dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[23]
Menurut Oemar Hamalik defenisi strategi pengajaran, adalah: “keseluruhan metode dan prosedur yang menitikberatkan pada kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu.”[24]
Sementara Kemp, menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah “suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien”.[25] Senada dengan pendapat Kemp, Dick dan Carey menyebutkan “bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa”.[26]
Selain pendapat di atas para ahli pembelajaran lainnya yakni Kozna  mendefenisikan “strategi pembelajaran sebagai setiap kegiatan yang dipilihnya, yaitu yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran tertentu”.[27]
Gerlach dan Ely, juga menjelaskan bahwa “strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu, strategi pembelajaran dimaksud meliputi sifat lingkup dan urutan kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar peserta didik”[28].
Gropper, menjelaskan “strategi pembelajaran merupakan pemilihan atas berbagai jenis latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, Gropper juga menegaskan bahwa setiap tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat dipraktekkan”.[29]
Menurut Nasution dalam B.S. Sidjabat, “strategi mengajar adalah pendekatan umum dalam mengajar dan tidak begitu rinci dan bervariasi….”[30]
Menurut Hamzah B. Uno sendiri pengertian strategi pembelajaran adalah:
“Cara-cara yang akan digunakan oleh pengajar untuk memilih kegiatan belajar yang akan digunakan selama proses pembelajaran. Pemilihan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, sumber belajar, kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tertentu”.[31]

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mengartikan strategi dalam belajar mengajar, sebagai pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar yang mencapai tujuan yang telah digariskan.”[32]
Dari uraian pengertian strategi pengajaran yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan, penulis merangkum pengertian strategi pengajaran yakni: “Perencanaan pemilihan cara-cara yang akan digunakan oleh pengajar dalam kegiatan pembelajaran dimana dalam proses pembelajaran menitikberatkan pada kegiatan siswa. Pemilihan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, sumber belajar, kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien.

2).    Jenis Strategi Pengajaran
Menurut Oemar Hamalik, memperkenalkan empat jenis strategi pembelajaran yang sepatutnya diketahui guru, yaitu sebagai berikut:
1.      Pembelajaran penerimaan (reception learning)
Secara garis besar, dengan strategi itu guru berperan aktif menyajikan informasi kepada anak didik, yaitu dari hal umum ke hal-hal yang lebih khusus. Setelah itu, anak didik diberi kesempatan untuk memikirkan penerapan konsep yang dipelajarinya.
Jenis strategi ini menuntut seorang guru lebih berperan aktif memperoleh informasi untuk diajarkan kepada anak didik.
2.      Pembelajaran penemuan (discovery learning)
Secara garis besar, dengan strategi itu guru memperhadapkan realitas, kasus atau masalah kepada peserta didik. Mereka kemudian memahami dan memecahkannya. Bertolak dari kegiatan itu, peserta didik menemukan dan mengemukakan ide, konsep dan gagasan yang dapat dibawa kedalam kajian yang lebih luas. Jenis strategi ini menuntut siswa-siswa lebih aktif dan kreatif.


3.      Pembelajaran penguasaan (master learning)
Pada dasarnya, dengan strategi itu guru menuntun murid untuk menguasai sebuah tahapan belajar sebelum beranjak ke tahapan berikutnya. Kalau peserta didik belum memperlihatkan penguasaan atas pengetahuan dan keterampilan dalam suatu tahapan, mereka belum diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar selanjutnya.

Jenis strategi ini, menuntut guru lebih sabar, strategi ini cocok diterapkan pada proses pembelajaran di luar sekolah, misalnya les.
4.      Pembelajaran terpadu (unit learning)
Secara garis besar, dengan strategi itu guru menuntun peserta didik untuk memahami sebuah unit kasus atau peristiwa dari berbagai aspek atau sudut pandang sehingga mereka memiliki pemahaman yang menyeluruh dan integratif.[33]
           
Wina Sanjaya, dalam bukunya strategi pembelajaran mengemukakan tujuh jenis strategi pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan standar proses pendidikan, yaitu:
1.      Strategi Pembelajaran Ekspositori
Dengan strategi ini guru bercerita, berceramah atau bertutur guna menyampaikan konsep, ide, gagasan dan keyakinannya kepada peserta didik. Strategi ini pada dasarnya berfokus pada guru, guru harus bijak dalam mengendalikan proses agar tujuan belajar tercapai.

Strategi Pembelajaran Ekspositori menuntut peran aktif guru dalam proses pembelajaran, sedangkan siswa dalam pembelajaran cenderung hanya menerima apa yang diajarkan oleh guru. Terkadang dalam menyampaikan sesuatu materi tertentu strategi ini merupakan strategi yang tepat.
2.      Strategi Pembelajaran Inkuiri
Dalam strategi ini guru ialah sebagai fasilitator, penuntun dan rekan kerja, dengan demikian gurulah yang memotivasi peserta didik dalam proses belajar agar mereka mencari dan menemukan gagasan.



Pembelajaran dimulai dengan penjelasan topik dan tujuan, kemudian penyajian masalah (kasus) secara tepat dan jelas, mungkin juga perlu dilakukan sebuah demonstrasi. Selanjutnya guru menuntun murid didalam proses belajar melalui berbagai pertanyaan, mengemukakan hipotesa (jawaban sementara), lalu melakukan pengujian untuk akhirnya menarik kesimpulan.
3.      Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Menekankan pada pengenalan masalah agar dapat memahami (analisis), perumusan langkah penyelesaian, pengujian data atau informasi, dan penyimpulan.

4.      Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB)
Strategi menekankan pembentukan kemampuan berpikir peserta didik. Guru menuntun murid bukan hanya untuk mengetahui isi bahan ajar (knowing what), melainkan juga dalam rangka memahami kode belajar dan merumuskan konsep, ide atau gagasan (knowing how).

5.      Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)
Strategi Pembelajaran yang memiliki asumsi bahwa pengetahuan dibentuk dan dibangun melalui kerjasama dalam aktivitas belajar, termasuk menyelidiki, berdiskusi, memahami dan memecahkan masalah.

6.      Strategi Pembelajaran Kontekstual
Strategi pembelajaran itu mengasumsikan bahwa konteks kehidupan sosial dan budaya merupakan sumber serta media belajar yang penuh makna, orang tidak hanya dapat belajar dari membaca buku atau literatur.
Strategi juga menekankan konsep belajar konstruksionis, yaitu pengetahuan dibentuk melalui penyelidikan hal-hal yang terjadi di lingkungan (konteks) bukan diberikan sebagai hasil olahan.

7.      Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran itu tidak cukup hanya dengan memproses informasi atau meningkatkan kemampuan intelektual. Nilai hidup harus dipraktekkan dan dibiasakan. Strategi ini menekankan metode pemecahan masalah dan penjelasan atau klarifikasi.[34]



3).    Cara Memilih  Strategi Pengajaran Yang Tepat
Titik tolak untuk penentuan strategi belajar-mengajar adalah perumusan tujuan pengajaran secara jelas. Agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara optimal, selanjutnya guru harus memikirkan pertanyaan berikut: “Strategi manakah yang paling efektif dan efisien untuk membantu tiap siswa dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan?”. Pertanyaan yang sangat sederhana namun sukar untuk dijawab, karena tiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi memang harus dipilih untuk membantu siswa mencapai tujuan secara efektif dan produktif.
Kriteria pemilihan strategi belajar-mengajar, harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selain itu, juga harus disesuaikan dengan jenis materi, karakteristik peserta didik, serta situasi atau kondisi dimana proses pembelajaran tersebut akan berlangsung. Terdapat beberapa metode dan teknik pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru, tetapi tidak semuanya sama efektifnya dapat mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu dibutuhkan kreativitas guru dalam memilih strategi pembelajaran tersebut.
Menurut Nasution dalam B.S. Sidjabat mengusulkan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh seorang guru yang hendak merencanakan strategi mengajar, yaitu sebagai berikut:
  1. Apakah tujuan itu bersifat kognitif, afektif atau psikomotoris?
  2. Apakah tujuan itu bertingkat rendah atau tinggi?
  3. Apakah tujuan itu banyak memerlukan reinforcement atau ulangan?
  4. Apakah diperlukan partisipasi aktif dari siswa secara individual, kelompok kecil, atau kelompok besar?
  5. Apakah tujuan itu memerlukan keterampilan akademis?
  6. Apakah dituntut keterampilan interpersonal?
  7. Apakah diperlukan keterampilan mengenai proses penelitian ilmiah?
  8. Apakah tersedia atau harus disediakan sumber-sumber mengajar?
  9. Apakah strategi mengajar itu sesuai dengan dermian kurikulum dan misi lembaga pendidikan?
  10. Apakah strategi mengajar itu cukup menguntungkan dari segi waktu, biaya dan usaha yang diperlukan?
  11. Apakah diperlukan lebih dari satu strategi mengajar untuk mencapai tujuan?
  12. Apakah strategi mengajar itu sesuai dengan gaya belajar siswa?[35]

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentu tidak mudah menjalankan dan melaksanakannya. ‘Menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang diharapkan dapat dilakukan siswa, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat keberhasilan yang diharapkan’ adalah pertanyaan yang sukar, sebab selain setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun mempunyai kemampuan dan kualifikasi yang berbeda pula. Di samping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan, lebih sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif biasanya lebih mudah. Strategi yang dipilih guru untuk aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaimana besar siswa untuk mencapai hasil yang optimal, dengan kemajuan teknologi, guru dapat mengatasi perbedaan kemampuan siswa melalui berbagai jenis media instruksional.
Menurut Mager dalam Hamzah B. Uno terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam memilih strategi pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1.      “Berorientasi pada tujuan pembelajaran
Tipe perilaku apa yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
2.      Pilih teknik pembelajaran sesuai dengan keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki saat bekerja nanti (dihubungkan dengan dunia kerja).
3.      Gunakan media pembelajaran yang sebanyak mungkin memberikan rangsangan pada indra peserta didik”. [36]

Menurutnya selain kriteria di atas, pemilihan strategi pembelajaran dapat dilakukan dengan memerhatikan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
1.      Apakah materi pelajaran paling tepat disampaikan secara klasikal (serentak bersama-sama dalam satu-satuan waktu)?
2.      Apakah materi pelajaran sebaiknya dipelajari peserta didik secara individual sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing?
3.      Apakah pengalaman langsung hanya dapat berhasil diperoleh dengan jalan praktek langsung dalam kelompok dengan guru atau tanpa kehadiran guru?
4.      Apakah diperlukan diskusi atau konsultasi secara individual antara guru dan siswa?[37]

Begitu juga dengan Gerlach dan Ely dalam Hamzah B. Uno menjelaskan pola umum pemilihan strategi pembelajaran yang digambarkan melalui bagan berikut[38]:

Rumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
 

Kondisi Pembelajaran (Perlu dirinci berbagai tingkah laku dan keterampilan)
 

Menetapkan    berbagai metode dan pendekatan
 




Kriteria pemilihan strategi pembelajaran hendaknya dilandasi prinsip efisiensi dan efektivitas dalam mencapai tujuan pembelajaran dan tingkat keterlibatan peserta didik. Untuk itu, pengajar haruslah berpikir strategi pembelajaran manakah yang paling efektif dan efisien dapat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan? Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat diarahkan agar peserta didik dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran secara optimal.
Secara umum strategi pembelajaran terdiri atas 5 (lima) komponen yang saling berinteraksi dengan karakter fungsi dalam mencapai tujuan pembelajaran, yaitu:

1.      “Kegiatan pembelajaran pendahuluan,
2.      Penyampaian informasi,
3.      Partisipasi peserta didik,
4.      Tes, dan
5.      Kegiatan lanjutan”.[39]

Pemilihan strategi pembelajaran hendaknya ditentukan berdasarkan kriteria berikut:
1.      Orientasi strategi pada tugas pembelajaran
2.      Relevan dengan isi/materi pembelajaran
3.      Metode dan teknik yang digunakan difokuskan pada tujuan yang ingin dicapai, dan
4.      Media pembelajaran yang digunakan dapat merangsang indra peserta didik secara simultan.[40]

2.1.6.      Strategi Pengajaran Tuhan Yesus
Di samping jabatan Tuhan Yesus sebagai sang penebus, Tuhan Yesus dikenal sebagai seorang Guru yang Agung. “Orang Yahudi menyebut Dia ‘Rabbi[41]’. Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa Ia disegani dan dikagumi oleh orang sebangsaNya selaku seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu Ketuhanan. Sebab Ia mengajar mereka ‘sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar mereka’ (Mat.7:29).”[42]

Tuhan Yesus Sang Guru Agung telah meninggalkan teladan bagaimana cara mengajar. Tuhan Yesus melatih murid-muridNya di luar kelas, di bukit di tepi danau di ladang gandum, serta di tempat-tempat orang menderita, sakit dan melakukan perlawanan (penolakan). Tuhan Yesus mengatur lingkungan pembelajaran yang realistis tidak ada pengalaman belajar buatan, kerap kali Yesus pun menguji muridNya, menanyakan pendapat mereka, memberikan kasus untuk dipikirkan dan tugas agar dikerjakan.[43]
Tuhan Yesus mempunyai 12 murid, yang selalu menyertaiNya. Dalam mengajar Tuhan Yesus kerapkali mempergunakan perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan ialah seperti sebuah cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari dengan maksud menerangkan perkara rohani.[44] Misalnya: Si anak hilang (Luk.15:11-31); domba yang hilang dan dirham yang hilang (Luk.15:1-10); penabur (Mat.13:1-23); sesama manusia (Luk.10:25-37); talenta (Mat.25:14-30).
Untuk melihat dan memahami tentang strategi pengajaran Tuhan Yesus, berikut ini adalah hal-hal yang perlu dipahami mengenai kepribadian Tuhan Yesus dalam pengajaranNya, yakni: 

1).    Kehidupan Yesus sebagai Guru
Ajaran Yesus bukan kutipan, atau dukungan guru-guru lain. Yesus tidak pernah mengutip ucapan-ucapan para ahli, atau guru guru besar lainnya untuk menguatkan ajaranNya kecuali perkataan Allah yang disampaikan melalui nabi-nabi Perjanjian Lama. Perkataan Yesus sendiri dianggapNya telah cukup, karena pengajaranNya jelas, meyakinkan, dan penuh kuasa, wibawa (bnd. Mrk. 1 : 22).
Kunci utama keberhasilan ajaran Yesus ialah “teladan” dan kehidupan yang dipraktekkanNya. Setiap ajaran Yesus selalu nampak dalam kehidupanNya, seperti kesengsaraan, penderitaan, kecaman, penganiayaan, dan sebaliknya terhadap kehidupan yang demikian Yesus tidak melakukan tindakan pembalasan. Sehingga tekanan ajaran Yesus bukan dalam doktrin-doktrin agama, tetapi “teladan”, yang dapat dituruti setiap muridNya.
Dalam melakukan pengajaranNya, Yesus mempunyai aspek-aspek yang patut untuk kita teladani dan terapkan dalam proses pembelajaran PAK, aspek-aspek pengajaran Yesus, seperti: bahan susunan, tujuan serta metodeNya. Aspek ini dapat dijadikan sebagai perbandingan atau menjadi teladan bagi guru-guru PAK.

2).    Wewenang Yesus Sebagai Guru
Wewenang Yesus sebagai guru meliputi pelbagai unsur, ada unsur – unsur insani, adapula unsur ilahi. Unsur –unsur tersebut mencirikan sifat pengajaran Tuhan Yesus. J.M Price dalam Jesus The Teacher, mengemukakan enam unsur yang dapat mendorong dan membangkitkan semangat sebagai guru, yakni: 1) Yesus mewujudkan kebenaran dalam Hidupnya, 2). Yesus berhasrat menolong; 3). Yesus yakin akan manfaat pengajaran; 4). Yesus Paham akan Firman Allah; 5).Yesus memahami sifat manusia; 6). Yesus cakap mengajar.[45] Berikut ini akan diuraikan keenam unsur tersebut, satu per satu, yakni sebagai berikut:

(1)   Yesus mewujudkan kebenaran dalam hidup-Nya
Syarat yang terpenting bagi seorang guru ialah kepribadiaannya sendiri. Perwujudan kebenaran dalam hidup Yesus meliputi dua hal, yaitu yang pertama, Yesus itu Allah adanya. Ia memiliki sifat – sifat Allah dengan sempurna. Yang kedua, perwujudan kebenaran dalam kepribadianNya tumbuh dari ketekunanNya belajar tentang kebenaran, kesetiaanNya menjalaninya, dan kebenaran itu dijadikan bagian dari diriNya sendiri.
(2)   Yesus berhasrat menolong
Profesi sebagai guru sangat menekankan sifat “menolong”. Dan bahkan salah satu syarat menjadi seorang guru ialah mau memperhatikan orang lain; dan dari sana timbul hasrat untuk menolong. Walaupun seorang guru memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara dalam ataupun menguasai metode pengajaran yang cukup mantap, tetapi hasilnya akan sia-sia tanpa memiliki sifat menolong. Keinginan akan kelas yang besar, sistem pengajaran yang sempurna, atau metode mengajar, tidak akan dapat menggantikan kekurangan perhatian terhadap orang lain. Tetapi sebaliknya “kasih” dan perhatian terhadap orang lain akan dapat menutupi kekurangan pengetahuan, dan ketidak sempurnaan penguasaan metode-metode dan tekhnik mengajar.
Suatu sifat yang nyata sekali dalam kepribadian Yesus ialah adanya perhatian akan kesejahteraan orang lain. Ia lebih mementingkan manusia daripada hukum, upacara, adat, organisasi dan sebagainya. Manusia bagi Yesus ialah seperti domba yang tidak ada gembalanya (Mrk.6:34). Yesus mengasihi orang dan memperhatikan soal-soal yang dihadapi mereka. Dia berbicara tentang air hidup dengan seorang wanita tuna susila (WTS). Ia mengunjungi rumah pemungut cukai yang hina. Perumpamaan tentang domba yang hilang, atau uang perak yang hilang, menunjukkan alangkah besar kasihNya terhadap manusia.
(3)   Yesus yakin akan manfaat pengajaran
Bagi Yesus pengajaran merupakan kesempatan yang mulia untuk membina cita-cita, pandangan dan kelakuan orang. Yesus bukan seorang ahli pidato, pemimpin politik yang terkemuka, melainkan Ia seorang “guru” atau “pendidik”. Ia bukan pula seorang ahli tafsir taurat tetapi seorang “guru”. PengajaranNya menjadi alat utama untuk menghantarkan orang kepada penebusan, keselamatan dan kelepasan dari dosa. Hal ini terbukti dari penyembuhan-penyembuhan penyakit, mujizat yang dilakukan.

Dalam keempat lnjil sinoptik, Yesus dikenal sebagai guru, tuan, rabbi seperti pengakuan Nikodemus dalam Yoh. 3:2 “Rabbi kami tahu bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus oleh Allah”. Paling sedikitnya ada 45 kali Yesus disebut sebagai ‘guru’ dan tidak pernah disebut sebagai ‘pengkhotbah’; ‘evanggelis’ atau ‘pendeta’; 45 kali Yesus diceriterakan sedang ‘mengajar’ 11 kali sedang “berkhotbah” atau memberitakan Injil sambil mengajar.
Dalam Mat. 4:23 : “Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah Ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah” Yoh 13:13: “Yesus menyebut diriNya juga sebagai guru”. Pengikut Yesus disebut sebagai “murni”; ucapan Yesus disebut dengan “ajaran” dan bukan nasehat, pidato atau khotbah. Yoh 7:16 “Ajaran-Ku tidak berasal dari diriKu sendiri tetapi dari Dia yang mengutus Aku.”
Istilah “Khotbah di Bukit” dalam Mat 5-7 sebenarnya tidak pernah dipakai oleh Yesus ataupun penulis-penulis PB. Mateus berkata “Yesuspun mulai berbicara dan mengajar (Mat.5:2). Sehingga cukup bijaksanalah sebenarnya apabila istilah “khotbah di bukit” diganti dengan “Pengajaran di Bukit”
(4)   Yesus Paham akan Firman Allah
Syarat terpenting dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan ialah bahwa guru menguasai / paham akan bidang ilmu yang akan diajarkannya. Begitulah Yesus, Dia sungguh-sungguh memahami Firman Allah, karena Firman Allah itulah yang menjadi bahan pengajaranNya. Dia tidak hanya paham akan Firman Allah semata-mata, tetapi Ia menggunakan Firman Allah untuk segala masalah yang dihadapi. PenguasaanNya akan Firman Allah bukan semata-mata karena Dia Allah, tetapi karena usaha Yesus untuk menyelidiki dan mempelajari Firman Allah sejak kecil dalam keluarga Yahudi. Dia belajar tentang adat Yahudi, tentang upacara tahunan seperti Hari Raya Paskah, Pondok Daun-daunan, Persembahan Anak Jantan yang pertama dari ternaknya kepada Allah. Itulah pelajaran agama yang ditekuni Yesus. Yesus juga belajar di rumah ibadat dalam usia relatif muda (lebih kurang 20 tahun). Kebaktian-kebaktian sehari-hari mulai dari Senin, Kamis, Sabbath dan hari raya serta hari-hari Puasa selalu dilaksanakan Yesus (Luk.4:14-16) Kebaktian itu bersifat ‘pengajaran’. Bahan-bahan pengajaran Yesus ialah “torat” (yakni 5 kitab yang pertama dari Alkitab), kitab nabi-nabi dan bagian Alkitab lain yang diucapkan secara bersama-sama.

Untuk anak laki-laki disediakan pengajaran sekolah dasar setiap hari kecuali hari Sabbath. Mereka mulai masuk sekolah umur 10 tahun; mereka belajar Kitab Suci mulai dari Kitab Imamat, Taurat, Sejarah, Nabi-nabi dan Puisi dan juga belajar menafsirkan Taurat (10-15 tahun). Pada umur 13 mereka menjadi ‘Anak Taurat’; dan bertanggung jawab sebagai anggota jemaat. Demikianlah Yesus dapat belajar dan menghafal Firman Allah sejak kecil, dan akhirnya dapat secara langsung mengikuti Nats-nats Alkitab seperti: Taurat, Yesaya, Yeremia, Daniel, Mika, Amos, Zakaria, Maleaki dan Kitab  Mazmur”
(5)   Yesus memahami sifat manusia
Di samping pengetahuan yang mahir, seorang guru perlu mengenal sifat-sifat anak didiknya. Damikianlah Yesus di samping mahir akan Firman Allah. Dia mengenal sifat-sifat manusia. Dalam beberapa hal, mengerti akan sifat manusia lebih panting daripada kecakapan mengajar. Kebenaran Allah sulit diajarkan apabila tidak mengerti sifat anak didiknya. Sebagaimana seorang dokter, sebelum memberi obat pada pasiennya, harus terlebih dahulu mengenal penyakitnya, demikianlah seorang guru harus terlebih dahulu mengerti kehidupan manusia, baru memberi pemecahan persoalan berdasarkan Firman Tuhan. Yoh.2:25 “Ia tahu apa yang dalam hati manusia”. Yesus menduga sedalam-dalamnya hidup manusia. Dia dapat mengenal pandangan manusia, mengetahui mereka baik atau jahat, tertarik akan pengajaranNya atau tidak, ramah atau tidak, memperhatikan atau tidak, setuju atau menentang. Jadi dari segi pendidikan intuisi Yesus sangat berperan menjadikan Ia sebagai Guru yang amat berpengaruh. Contoh-contoh bahwa Yesus mengetahui pikiran orang: (Mat 9:4; Mrk. 12:15; Yoh. 4:17-18).
(6)   Yesus cakap mengajar
Tidak ada informasi yang mengatakan bahwa Yesus mempelajari metode-metode mengajar, yang terang ialah bahwa Yesus cakap mengajar. Suatu kenyataan dari sifat Yesus ialah Ia tidak mengemukakan prinsip-prinsip ilmu jiwa, teori pendidikan atau ilmu mendidik, namun Dia menguasai unsur-unsur yang paling penting dalam pendidikan. Ia menghadapi setiap situasi yang timbul pada waktu mengajar dengan kecakapan yang sempurna. Sebagai guru Ia jauh lebih unggul dari guru-guru yang lain, walau guru-guru modern sekalipun tidak akan ada yang sanggup menandinginya. Yesus mempergunakan seluruh metode yang dikenal dewasa ini, secara baik atau setidak-tidaknya secara sederhana, seperti metode bertanya, berceramah, diskusi, drama, alat peraga, proyek dan sebagainya.
Demikianlah beberapa sifat dari pengajaran Yesus yang patut diteladani oleh setiap orang yang mau menjadi guru/pendidik. Di samping adanya penyerahan, ketekunan, perlu memiliki pengetahuan tentang metode dan prosedur mengajar. Seseorang tidak menerima sifat-sifat yang baik sebagai guru ketika dilahirkan, melainkan sesudahnya melalui pengalaman, pendidikan dan latihan.

3).    Prinsip-Prinsip Pengajaran Tuhan Yesus
Perjanjian Baru memuat banyak prinsip yang dipakai Tuhan Yesus dalam mendidik murid-muridNya. Prinsip - prinsip pengajaran Tuhan Yesus menurut kitab injil Matius 5 – 7, yaitu:
1.      Tuhan Yesus mengajar melalui hidup dan perbuatanNya (Matius pasal 4; Mat.4:23-24; Mat.4:25).
2.      Tuhan Yesus memakai pengalaman pendengar-pendengarNya untuk mengajar mereka. (Mat.13:1-9; Mat.5:15-16).
3.      Tuhan Yesus terkadang memandang obyek-obyek yang konkrit yang dilihat. (Mat.12:16-17; Mat.6:25-34).
4.      Tuhan Yesus memakai bahan / materi / media yang tepat dan sederhana untuk mengajar. (Mat. 4:4, Mat.5:5).
5.      Tuhan Yesus selalu memberikan kepada pendengarNya tanggung jawab untuk mengambil keputusan secara pribadi. (Mat.7:24-27).[46]

Selain kelima prinsip di atas Tuhan Yesus juga memakai prinsip-prinsip pengajaran yang lain yang dikutip oleh Andar Ismail, yakni: “Tuhan Yesus dalam mengajar memakai prinsip pengajaran ‘dimulai dari apa yang diketahui nara didik’”[47].
            Robert R. Boehlke dalam bukunya: “Siapakah Yesus Sebenarnya?” juga mengemukakan beberapa prinsip pengajaran yang dilakukan Tuhan Yesus dalam pengajaranNya, yakni:
  1. Dalam pengajaranNya Tuhan Yesus memakai cara, “Yesus memanfaatkan kebudayaan pada waktu itu yaitu Kebudayaan Ibrani dengan tradisi syairnya.
  2. Yesus menggunakan bentuk argumentasi yang bertitik tolak dari salah satu kebenaran yang berterima bagi semua orang.
  3. Dalam pengajaranNya terkadang Yesus mengajukan pertanyaan untuk memperoleh jawaban yang dikehendakiNya sebagai landasan untuk menarik kesimpulan untuk lebih umum[48].

4).    Gaya Pengajaran Tuhan Yesus
Gaya mengajar Yesus mampu menarik perhatian khalayak ramai yang sudah bosan dengan cara pendekatan guru-guru biasa. (Mrk.1:22; 12:37). Robert R. Boehlke mengemukakan delapan gaya mengajar Tuhan Yesus, yakni:
1).    Ceramah
Dengan metode ceramah Yesus berusaha menyampaikan pengetahuan kepada murid-muridNya atau menafsirkan pengetahuan tersebut. Melalui pendekatan itu Ia mengharapkan dua tanggapan dari para pendengarNya: pengertian mendalam dan perilaku baru (bnd. Khotbah di Bukit, Mat.5-7).
2).    Bimbingan
Yesus yang mengajar murid-muridNya melalui ceramah itu juga memberikan bimbingan kepada mereka. Mereka diajar melalui tinjauan kemudian harus diamalkan (Bnd.Mat. 10:7)[49]
Pengajaran Tuhan Yesus dengan metode ceramah tidak berhenti setelah menyampaikan ceramahnya, tetapi Dia masih menuntun murid-muridNya melalui metode bimbingan.
3).    Menghafal
Tidak jarang Yesus mengutip ayat dari Taurat, nubuat, misalnya untuk membenarkan perilaku atau gagasan yang dikemukakanNya (Mat.12:1-8).
4).    Perwujudan
Metode ini merupakan pendekatan khas Matius, namun contohnya diberikan oleh Yesus sendiri. Melalui pengajaranNya Yesus menyatakan bahwa Israel telah terwujud dalam diri pribadiNya sebagai hamba Tuhan yang menderita (Mrk.10:32-34; 45).[50]

Memang Tuhan Yesus tidak secara menyuruh murid-muridNya untuk menghafal ayat-ayat, tetapi tidak jarang Yesus mengutip ayat dari Taurat, nubuat. Melalui perwujudanNya Yesus mengajarkan kepada murid-muridNya bahwa diri pribadiNyalah penyataan yang baru.
5).    Dialog
Metode ini banyak sekali terdapat dalam keempat injil, walaupun penggunaannya tidak persis sama. (Mat.19:16-26; Yoh.4:42).
6).    Studi kasus
Yang dimaksud disini adalah perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan Yesus.
7).    Perjumpaan
Dengan metode ini, para pelajar ditantang secara langsung untuk mengambil keputusan, di sini Yesus tidak bercerita.


8).    Perbuatan Simbolis
Pada awal pelayanan Yesus di depan umum, Ia dibaptiskan oleh Yohanes Pembaptis. Ini adalah bentuk pengajaran kepada murid-muridNya melalui perbuatan simbolis.[51]


5).    Metode Pengajaran Tuhan Yesus
Oditha R. Hutabarat mengemukakan enam metode yang sering dipakai Yesus dalam mengajar, antara lain:
1.      Ceramah dan contoh (Mat.5:1; Mat:13:36; Mrk.4:34; Luk.4:16; Luk.5:1-3; Luk.6:19-20; Luk.10:23; Luk.14:1-6; Luk.19:1-9; Luk.24:25,27, Yoh.13:1).
2.      Perumpamaan (Luk.14:15-24; Luk.15:1-31; Luk.13:6-9; 13:10-17; 13:18-21)
3.      Cerita  (Luk.16:19-31; Luk.10:25-36).
4.      Tanya jawab / Diskusi (Yoh.3:1-13).
5.      Ceramah dan Nasehat (Luk.16:10-18; Luk.11:1-12).
6.      Inquiry (Luk.4:1-13)[52]

Dalam mengajar, disamping menggunakan berbagai metodologi kreatif, Yesus selalu menggugah perhatian rasa ingin tahu pendengar-Nya dan terutama membangun komunikasi dengan para murid-muridNya. Hal yang dilakukan Tuhan Yesus dan yang patut kita teladani sebagai seorang guru PAK adalah sebagai berikut:
-         Sambil mengajar, Ia menatap mereka dengan penuh perhatian.
-         Ia membangun percakapan.
-         Ia mengajukan pertanyaan.
-         Ia mengajak orang untuk lebih memahami topik yang diajarkan
-         Ia menyebut nama murid-muridNya ketika mengajar mereka[53]

Menurut Paulus Lilik Kristianto, menjelaskan metode pengajaran Tuhan Yesus selama pelayanan-Nya di dunia ini sebagai berikut:

1).    Memenangkan Perhatian
Untuk memenangkan perhatian para pendengarNya, Yesus memberi teladan kepada para pengajar PAK masa kini, seperti:
-         Menggunakan mata (Yoh.1:38; Mat.4:18)
-         Mengundang pembicaraan (Yoh.4:7-10)
-         Menanyakan pertanyaan (Mat.16:13)
-         Mengundang persahabatan (Mrk.1:17)
-         Memanggil namanya (Yoh.1:42)
-         Menggunakan kata-kata untuk menarik perhatian (Mrk.4:3; Luk.18:17, 31; 22:10; Yoh.3:3,5).
2).    Menggunakan pertanyaan-pertanyaan
Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, Tuhan Yesus tidak hanya memperoleh bermacam-macam informasi, tetapi juga memiliki tujuan lain, yaitu:
-         Sebagai simulasi perhatian (Mat.16:13)
-         Menjernihkan pikiran (Mrk.10:3)
-         Mengungkapkan emosi (Mat.12:34)
-         Menekankan kebenaran (Mat.16:26)
-         Menerapkan kebenaran (Luk.10:36)
-         Menegur (Mat.21:25-27)
-         Menyakinkan (Mrk.2:25)
-         Menguji (Yoh.21:15-17)
3).    Menggunakan Ilustrasi dan Cerita
-         Memunculkan perhatian (Luk.8:4-9)
-         Menjelaskan suatu pinsip / ajaran (Luk.10:30-35)
-         Masuk ke dalam pengajaran (Luk.15)
-         Menerapkan kebenaran (Luk.6:47-49)
4).    Menggunakan Ceramah atau Khotbah
Yesus menggunakan metode ini untuk kelompok-kelompok, orang banyak dan murid-muridNya. Tiga khotbah terkenal Tuhan Yesus adalah:
-         Khotbah di Bukit (Mat.5-7)
-         Pengajaran di Bukit Zaitun (Mat.24:25)
-         Pengajaran di Ruang Aras (Yoh.14-16)
5).    Menggunakan Benda dan Objek
Metode ini sering dilakukan oleh Tuhan Yesus, yaitu:
-         Burung, bunga, rumput (Mat.6:25-31)
-         Anak kecil (Mat.18:1-6)
-         Pohon buah yang kering (Mat.13-17)
-         Uang koin (Mrk.12:13-17)
-         Janda yang memberi persembahan (Mrk.12:41-44)
-         Ladang yang menguning (Yoh.4:35-39)
-         Pokok anggur dan rantingnya (Yoh.15:1-8)
-         Mukjizat yang dilakukan Tuhan Yesus Kristus (Yoh.5:36)



6).    Menggunakan Model
-         Model mengajar yang bersasaran (kasus Nikodemus)
-         Model untuk murid-muridNya seperti cara berdoa (Luk.9:18, 28; 11:1; Mat.6:5-13) dan melayani (Yoh.13:1-20).[54]


6).    Tujuan Pengajaran Yesus
Tujuan pengajaran merupakan suatu hal yang sangat penting, pengajaran harus mempunyai tujuan yang jelas dan khas. Banyak guru mengajar tanpa tujuan yang jelas dan tertentu, kecuali hanya menyampaikan bahan-bahan pengajaran kepada murid-muridnya serta membebani mereka tugas-tugas lain. Tanpa sasaran dan tujuan yang jelas seorang guru tidak akan berhasil menjadi pendidik yang efektif, dan tidak akan dapat menilai apakah dia berhasil mencapai sasarannya atau tidak.
Lain halnya dengan Yesus, Dia mempunyai arah, dan tujuan dari pengajaranNya serta berusaha mencapai tujuan itu secara sempurna. Yesus berusaha mengubah kehidupan orang lain dan memperbaharui masyarakatnya. Beberapa tujuan konkrit Yesus secara khusus, yakni: 1). Membentuk Cita-cita Luhur; 2). Menanamkan Keyakinan Yang Teguh; 3) Memulihkan Hubungan Dengan Allah; 4). Memperbaiki Hubungan Dengan Orang Lain; 5) Menghadapi Masalah Hidup; 6). Membina Watak Yang Kuat; 7). Melatih Untuk Pelayanan.[55]
Berikut ini akan diuraikan penjelasan ketujuh tujuan pengajaran Yesus tersebut di atas, yakni:
(1)   Membentuk Cita-cita Luhur
Peranan Yesus dalam membentuk cita-cita luhur manusia terdapat dalam Mat. 5:48, Yesus berkata: “Karena itu haruslah engkau sempurna, sama seperti Bapamu yang disurga adalah sempurna”. Di sini Yesus berusaha memberikan pengertian yang jelas tentang sifat Allah dan sifatNya sendiri terhadap manusia. Sifat-sifat Allah itu diterangkan dengan menggambarkan Allah sebagai “Bapa” yang memiliki kasih bukan seorang Raja lalim dan bengis yang acuh tidak acuh terhadap rakyatnya.
(2)   Menanamkan Keyakinan Yang Teguh
Yesus tidak puas dengan hanya mengajarkan murid-muridNya dengan pengetahuan tentang perkara rohani dan susila saja. Ia menyadari bahwa penerangan-penerangan saja tidak cukup menanggulangi dorongan-dorongan naluri dan lingkungan yang rusak.
(3)   Memulihkan Hubungan Dengan Allah
Tanggung jawab Yesus sebagai guru ialah menghubungkan murid-muridNya dengan Allah. Manusia tidak mempunyai hubungan yang baik dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain bilamana tidak mempunyai hubungan yang benar dengan Allah. Hidup manusia belum sempurna bila belum diperhubungkan dengan Kristus. Kebenaran hanya dapat diwujudkan apabila orang bertobat kepada Allah. Kristus berusaha membawa manusia pada pertobatan dan demikianlah tugas Yesus sebagai guru.
(4)   Memperbaiki Hubungan Dengan Orang Lain
Ajaran Yesus yang terutama dan terpenting ialah : “mengasihi sesama seperti diri sendiri” (Mrk. 12:31). Jadi kehidupan orang Kristen yang benar ialah mempunyai hubungan secara vertikal dan horizontal. Ajaran Yesus tentang akhirat dialaskan atas perbuatan orang di dunia ini, misalnya memberi makan orang lapar, minum bagi orang dahaga, memberi pakaian bagi orang telanjang atau menolong orang sakit, yang ada dalam penjara (Mat.25:35-36). Manusia harus menjadi makhluk-makhluk sosial, bukan orang egoisme. Oleh karena itu manusia harus mempunyai hubungan selaras dengan Allah dan dengan manusia.
(5)   Menghadapi Masalah Hidup
Didalam segala pengajaranNya, Yesus tidak pernah mengabaikan masalah – masalah batin para pendengarNya, dan selalu dicariNya pemecahan masalah - masalah tersebut. 
(6)   Membina Watak Yang Kuat
Yesus membina para pengikutNya, agar mempunyai watak yang kuat dan teguh. Cita-cita Yesus bagi para muridNya adalah kehidupan yang bebas dari dosa.
(7)   Melatih Untuk Pelayanan
Tugas guru yang tidak kurang pentingnya ialah melatih murid-muridNya untuk terampil dan mampu meluaskan pengetahuan yang dimilikinya ke segala penjuru. Mereka dipersiapkan untuk dapat kelak mengganti para guru-guru untuk mengembangkannya kepada yang lebih tinggi.
Demikian Yesus melatih para murid-muridNya untuk diutus ke seluruh penjuru dunia. Latihan itu terutama sekali ialah dengan pergaulan yang intim secara pribadi antara Yesus dengan para muridNya, agar dari sana mereka mempunyai kesempatan belajar dari teladanNya. Sehingga mereka belajar dari petunjuk dan praktek Yesus. Dan setelah terasa waktunya telah cukup, maka diutusNya mereka dengan perintah: “Memuridkan, membaptiskan, dan mengajar” (Mat.28:19-20) atau dengan kata lain untuk “melayani”.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tujuan pengajaran Yesus ialah membina kepentingan jasmani dan rohani, baik yang bersifat pribadi maupun bersifat keseluruhan, kelompok rumah tangga dan lain-lain, agar murid-muridNya mengetahui dan memperoleh keselamatan. “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup” (Yoh.10:10).

2.2.            Pencapaian Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)
2.2.1.      Pencapaian
Kata ‘pencapaian’ berasal dari kata ‘capai’ yang artinya adalah “proses, cara, perbuatan mencapai”[56]

2.2.2.      Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari “education” dalam bahasa Inggris. Kata “education” berasal dari Bahasa Latin: ducere yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan “e” yang berarti keluar (out). Berarti arti dasar dari pendidikan adalah: suatu tindakan untuk membimbing keluar.[57]
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekuat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.[58]
Lawrence Cremin dalam Thomas H. Groome, mendefenisikan pendidikan sebagai “usaha yang sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau kepekaan-keperkaan, juga setiap akibat dari usaha itu”.[59]
A.N. Whitehead mendefenisikan pendidikan sebagai berikut: “bimbingan kepada individu menuju pemahaman dari seni kehidupan”.[60]
Dari pengertian pendidikan yang dirumuskan oleh para ahli di atas, penulis menyimpulkan pengertian pendidikan adalah suatu proses atau usaha yang sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau kepekaan-kepekaan, kepada individu menuju pemahaman dari seni kehidupan. Dan Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.


2.2.3.      Tujuan Pendidikan
Dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan pembelajaran atau pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan merupakan faktor utama. Dengan adanya tujuan pengajaran akan dapat diketahui apa manfaat serta kegunaan dari kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan, dan dapat diketahui secara pasti ke arah mana kegiatan-kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar tujuan pendidikan dan pengajaran, sebagai pegangan dan sebagai dasar dalam melaksanakan tugas kita sebagai pendidik, pembina masyarakat dan bangsa. Tujuan pendidikan dan pengajaran tersebut tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yakni: “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”[61].
J.I.G.M. Drost mengemukakan tujuan pendidikan atau pengajaran adalah “Membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat, anak harus mencapai kematangan baik intelektual maupun rasional untuk dapat menempuh studi tersier (akademis atau profesional).[62] Menurut G.E. Olsen dalam Oemar Hamalik tujuan pendidikan adalah: “Mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakatnya.
Menurut Sadiman pengertian tujuan pembelajaran “adalah suatu rumusan hasil yang diharapkan dari siswa setelah menyelesaikan atau memperoleh pengalaman belajar. Tujuan ini begitu penting karena merupakan pedoman untuk mengarahkan kegiatan belajar.[63]
Berdasarkan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah “Untuk membantu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi orang dewasa dalam kehidupan bermasyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab;  dan juga untuk membantu anak mencapai kematangan baik intelektual maupun rasional untuk dapat menempuh studi tersier (akademis atau profesional).

1).    Nilai Tujuan Dalam Pengajaran
Tujuan merupakan hal yang penting dalam proses belajar mengajar. Tujuan memiliki nilai yang penting dalam pengajaran Oemar H. Malik mengemukakan lima nilai tujuan pengajaran yakni:
1.      Tujuan pendidikan mengarahkan dan membimbing kegiatan guru dan murid dalam proses pengajaran.
2.      Tujuan pendidikan memberikan motivasi kepada guru dan siswa.
3.      Tujuan pendidikan memberikan pedoman atau petunjuk kepada guru dalam rangka memilih dan menentukan metode mengajar atau menyediakan lingkungan belajar bagi siswa.
4.      Tujuan pendidikan penting maknanya dalam rangka memilih dan menentukan alat peraga pendidikan yang akan digunakan.
5.      Tujuan pendidikan penting dalam menentukan alat/teknik penilaian guru terhadap hasil belajar siswa.[64]


2).    Tingkat – tingkat Tujuan Pendidikan
Menurut Oemar H. Malik dalam bukunya proses belajar mengajar, tujuan pendidikan dan pengajaran terdiri dari lima tingkatan/jenjang sesuai dengan ruang lingkup dan sasaran yang hendak dicapai oleh tujuan itu. Tingkatan tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan umum dari sistem pendidikan nasional. Tujuan ini merupakan tujuan jangka panjang dan sangat luas dan menjadi pedoman dari semua kegiatan / usaha pendidikan di Negara kita.
2.      Tujuan lembaga pendidikan. Setiap lembaga pendidikan, mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan tujuan itu berbeda-beda satu sama lain.
3.      Tujuan kurikuler. Mempersiapkan anak didik untuk dapat berdiri sendiri dalam masyarakat sebagai manusia Pancasila.
4.      Tujuan mata pelajaran. Merupakan penjabaran dari tujuan kurikulum dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan Nasional.
5.      Tujuan mengajar dan belajar. Tujuan yang bersifat operasioanal, tujuan dalam waktu yang singkat dapat tercapai.

2.2.4.      Pengertian Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Kristen adalah salah satu bidang studi yang harus diajarkan di setiap sekolah dan diikuti oleh setiap anak didik yang beragama Kristen.
            E.G.  Homrighausen mengatakan:
“Pendidikan Agama Kristen berpangkal pada persekutuan umat Tuhan. Dalam perjanjian lama pada hakekatnya dasar-dasar terdapat pada sejarah suci purbakala, bahwa Pendidikan Agama Kristen itu mulai sejak terpanggilnya Abraham menjadi nenek moyang umat pilihan Tuhan, bahkan bertumpu pada Allah sendiri karena Allah menjadi peserta didik bagi umat-Nya”[65].
Menurut Warner C. Graedorf PAK adalah
“Proses pengajaran dan pembelajaran yang berdasarkan Alkitab, berpusat pada Kristus, dan bergantung kepada Roh Kudus, yang membimbing setiap pribadi pada semua tingkat pertumbuhan melalui pengajaran masa kini ke arah pengenalan dan pengalaman rencana dan kehendak Allah melalui Kristus dalam setiap aspek kehidupan, dan melengkapi mereka bagi pelayanan yang efektif, yang berpusat pada Kristus sang Guru Agung dan perintah yang mendewasakan pada murid”.[66]

Pengertian pendidikan agama Kristen adalah kegiatan politis bersama pada peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama mereka memberi perhatian pada kegiatan Allah di masa kini kita, pada cerita komunitas iman Kristen, dan visi kerajaan Allah, benih-benih yang telah hadir diantara kita[67].
Pengertian PAK menurut para ahli yang dirangkum oleh Paulus Lilik Kristianto dalam bukunya yang berjudul “Prinsip & Praktek Pendidikan Agama Kristen:
-         Hieronimus (345-420)
PAK adalah pendidikan yang tujuannya mendidik jiwa sehingga menjadi bait Tuhan. (Mat.5:48).
-         Agustinus (345-430)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mengajar orang supaya “melihat Allah” dan “hidup bahagia.”

-         Martin Luther (1483-1548)
PAK adalah pendidikan yang melibatkan warga jemaat untuk belajar teratur dan tertib agar semakin menyadari dosa mereka serta bersukacita dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan. Di samping itu PAK memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya yang berkaitan dengan pengalaman berdoa, Firman tertulis (Alkitab) dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan Negara serta mengambil bagian dengan bertanggung jawab dalam persekutuan Kristen.

-         John Calvin (1509-1664)
PAK adalah pendidikan yang bertujuan mendidik semua putra-putri gereja agar mereka:
1.      Terlibat dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dengan bimbingan Roh kudus.
2.      Mengambil bagian dalam kebaktian dan memahami keesaan gereja.
3.      Diperlengkapi untuk memilih cara-cara mengejawantahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus dalam pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah dan kemuliaanNya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.






2.2.5.      Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Daniel Nuhamara, menjelaskan pengertian tujuan PAK dalam arti ultimate aims dibagi atas 3 konsep yaitu: aims, goals, dan objectives.
-         Aims adalah tujuan yang diusahakan untuk dicapai pada akhirnya (secara mutlak).
-         Goals adalah tujuan yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu.
-         Objectives adalah tujuan yang hendak dicapai dalam suatu proses belajar-mengajar dalam satu kali tatap muka.[68]

James D. Smart dalam bukunya The Teaching Ministry of The Chruch merumuskan tujuan dari PAK sebagai berikut: “Kita mengajar agar melalui pengajaran kita, Allah dapat bekerja di hati mereka yang diajar untuk menjadikan mereka murid-murid yang menyakinkan baik dengan kata-kata maupun perbuatan di tengah-tengah dunia”[69]
            Werner C. Graendorf dalam bukunya Introduction to Biblical Christian Education mengatakan tujuan PAK antara lain: “untuk membimbing individu – individu pada semua tingkat pengembangannya, dengan cara pendidikan kontemporer, menuju pengenalan serta pengalaman akan tujuan serta rencana Allah dalam Kristus melalui setiap aspek kehidupan, dan juga untuk memperlengkapi mereka demi pelayanan yang efektif.[70]
Sementara, Di Indonesia komisi PAK dari Dewan gereja – gereja di Indonesia pernah merumuskan tujuan PAK sebagai berikut : “Mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh kudus ia datang ke dalam suatu persekutuan yang hidup dengan Tuhan.”[71]
Tujuan Pendidikan Agama Kristen menurut E.G. Homrighausen dan I.H. Enklaar mengatakan:
1.      Memimpin murid selangkah demi selangkah kepada pengenalan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam Alkitab dan pengajaran-pengajaran yang diberikan olehNya.
2.      Membimbing murid dalam cara menggunakan kebenaran – kebenaran asasi Alkitab itu untuk keselamatan seluruh hidupnya.
3.      Mendorong dia mempraktekkan azas-azas dari Alkitab itu supaya membina suatu perangai Kristen yang kukuh.
4.      Menyakinkan supaya mengakui bahwa kebenaran – kebenaran dan azas iman itu menunjukkan jalan untuk memecahkan masalah – masalah kesusilaan, sosial dan politik di dunia ini.[72]

Menurut Robert R. Boehlke tujuan PAK adalah :

Untuk melibatkan semua warga jemaat khususnya yang muda dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka di samping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis dalam Alkitab dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan Negara serta mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam persekutuan Kristen yaitu gereja.[73]

Dalam Robert R. Boehlke dirumuskan tujuan PAK yang rupanya didukung Calvin disamping yang terdapat dalam Efesus.4:11-16, yakni:
Mendidik semua putra-putri sang Ibu (gereja) agar mereka, dilibatkan dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh kudus, diajar mengambil bagian dalam kebaktian serta mencari keesaan gereja, diperlengkapi memilih cara-cara mengejawantahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa Yesus Kristus dalam gelanggang perkerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab dibawah kedaulatan Allah demi kemuliaanNya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.[74]


Menurut Sariaman Sitanggang bahwa tujuan PAK adalah :

1.      Memperkenalkan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus dan karya-karyaNya agar peserta didik bertumbuh iman dan kepercayaannya dan meneladani Allah Tritunggal dalam hidupnya.
2.      Menanamkan pemahaman tentang Allah dan karyaNya kepada peserta didik, sehingga mampu memahami dan menghayatinya.
3.      Menghasilkan manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya serta bertanggung jawab dan berakhlak mulia di tengah masyarakat dan pluralistik.[75]

Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan PAK secara khusus adalah menanamkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan pribadi dan sosial sehingga siswa mampu menjadikan nilai Kristiani sebagai acuan hidup personal maupun komunitas.

2.2.6.      Pencapaian Tujuan PAK Menurut Kurikulum
Kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Menurut Mauritz Johnson dalam Nana Syaodih Sukmadinata kurikulum “Prescribes (orang at least anticipates) the result of instruction, kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi serta proses pendidikan”.[76]
Nana Syaodih Sukmadinata, mengemukakan enam komponen kurikulum yakni; 1). Tujuan; 2).Bahan Ajar; 3). Strategi Mengajar; 4). Media Mengajar; 5). Evaluasi Pengajaran; 3).Penyempurnaan Pengajaran.[77]
Di atas telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal, yakni:
-         Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat.
-         Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara.[78]
Kita mengenal beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1975/1976 dikenal kategori tujuan sebagai berikut:
-         Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa Indonesia.
-         Tujuan institusional, merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan.
-         Tujuan kurikuler, adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi.
-         Tujuan instruksional yang merupakan target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran.
-         Tujuan instruksional umum dan khusus atau disebut juga objektif, yang merupakan tujuan pokok bahasan.[79]

Tujuan pendidikan nasional yang berjangka panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum, sedangkan tujuan isntruksional yang berjangka waktu cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus dijabarkan dari sasaran-sasaran pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran-sasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, tujuan-tujuan khusus lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan demikian akan menggambarkan “what will the student be able to do as z result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree, 1974: 5). Mengajar dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan dapat memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada perilaku siswa, sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, pencapaiannya memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs dalam Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu “intellectual skills, cognitive strategies, verbal in-formation, motor skills and attitudes”.[80]
Bloom mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai. Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan-keterampilan motorik.
Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974) membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima, merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam jenjang, yaitu: gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang berkesinambungan.
Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective), memberikan beberapa keuntungan:
a)      Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan mengajar-belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark (1963) siswa yang mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan, diberikan referensi dan sumber yang memadai, dapat belajar sendiri dalam waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa.
b)      Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan menyusun bahan ajar.
c)      Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media mengajar.
d)      Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan khusus guru lebih mudah menentukan bentuk tes, lebih mudah merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria pencapaiannya.
Di samping keuntungan-keuntungan di atas pengembangan tujuan-tujuan mengajar yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu: 1) Sukar menyusun tujuan-tujuan khusus untuk domain afektif, 2) Sukar menyusun tujuan-tujuan khusus pada tingkat tinggi. Untuk mengatasi kedua kesukaran di atas diperlukan keahlian, latihan dan pengalaman yang mencukupi dari guru-guru. Kekurangan keahlian, latihan dan pengalaman akan membawa guru-guru pada perumusan tujuan-tujuan yang bertaraf rendah, yang mudah diukur. Kelemahan di atas akan menyebabkan penyusunan tujuan-tujuan khusus bersifat mekanistis, dengan jumlah tujuan yang sangat banyak. Bagaimana perumusan sesuatu tujuan khusus yang baik?
Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974), Gagne (1974), De Cecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuan khusus merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan siswa pada akhir suatu kegiatan belajar. Ahli-ahli di atas juga memberikan beberapa spesifikasi dari tujuan-tujuan mengajar khusus, yaitu:

a)      Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan:
1)      Menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang dapat diamati.
2)      Menunjukkan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa
3)      Memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan siswa dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
b)      Menunjukkan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dalam bentuk:
1)      Ketepatan atau ketelitian respons,
2)      Kecepatan, panjangnya dan frekwensi respons.
c)      Menggambarkan kondisi atau lingkungan yang menunjang tingkah laku siswa, berupa:
1)      Kondisi atau lingkungan fisik,
2)      Kondisi atau lingkungan psikologis.
Dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memuat, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” juga memuat, “Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik” [81]
Menurut Oemar Hamalik salah satu komponen dari pengajaran adalah “Evaluasi pengajaran”[82] Menyajikan evaluasi adalah merupakan salah satu dari tugas seorang guru. Guru perlu tahu sejauh mana pencapaian tujuan pengajaran yang telah dilakukannya didalam proses pembelajaran. Seorang guru patut mengukur sejauhmana peserta didik sudah mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan yaitu dengan cara menyajikan evaluasi.
Dalam kitab Injil dijelaskan bahwa Yesus juga menyediakan waktu bersama-sama dengan murid-murid-Nya untuk mengadakan evaluasi setelah selesai melaksanakan tugas-tugas tertentu. Sebagai contoh, Ia mengevaluasi pemahaman mereka mengenai siapa diri-Nya. Mula-mula mereka ditanya tentang pendapat orang sebelum mengorek pendapat murid-murid-Nya sendiri (bdk. Mat. 16:13-20). Dalam kesempatan lain, setelah murid-murid kembali dari praktik lapangan (pengutusan), Yesus mendengarkan laporan mereka mengenai apa yang terjadi. Murid-murid itu sangat gembira menjelaskan banyak peristiwa dahsyat yang menyertai pelayanan mereka, termasuk takluknya setan-setan. Setelah Yesus selesai menyatakan afirmasi, Ia mengingatkan mereka agar bersukacita karena namanya terdaftar di surga (Luk.17-20).
Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Rasul Paulus menegaskan, “Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri” (Gal. 6:4). Dengan demikian, kalau guru melakukan pengukuran dan penilaian, ia harus berusaha menguji pekerjaannya sendiri. Dalam hal itu, guru mendapatkan bukti-bukti (evidensi) yang berguna untuk memajukan mutu pelayanannya.
Evaluasi dapat kita pahami sebagai e-value-ation. Menurut Pazmino (1992:145-168; 1998:75-99) “evaluasi sebenarnya merupakan upaya untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai yang kita anut dan tegakkan, kemudian diwujudkan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran itu telah dipahami atau direspons oleh peserta didik”[83].
Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan bahan ajar, strategi, dan media mengajar.
Berikut ini adalah jenis evaluasi yang dipergunakan untuk memperoleh hasil pencapaian pendidikan, yakni:
a.       Evaluasi Hasil Belajar-Mengajar
Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi hasil belajar-mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
-         Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dari evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif digunakan untuk menilai penguasaan siswa setelah selesai mempelajari satu pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif ini terutama digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi formatif, selain berfungsi menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes diagnostik.
-         Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas daripada evaluasi formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, kelulusan ujian) serta menilai efektivitas program secara menyeluruh.

Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah ditentukan atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam norma yang digunakan, yaitu norm referenced dan criterion referenced (Chauhan, 1979: 170-177, Gronlund, 1976: 18-19, Thorndike, 1976: 654). Dalam Cirterion referenced penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes hasil belajar dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari tujuan atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam cirterion referenced ada suatu kriteria standar. Dalam norm referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai standar, penguasaan siswa dibandingkan dengan tingkat penguasaan kawan-kawannya satu kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional. Dalam implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran, criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced digunakan pada evaluasi sumatif.
b.      Evaluasi pelaksanaan mengajar
Komponen yang dievaluasi dalam pengajaran bukan hanya hasil belajar mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran (yang menyangkut sekuens bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta komponen evaluasi mengajar sendiri.
Stufflebeam dan kawan-kawan (1977: 243), mengutip Model Evaluasi dari EPIC, bahwa dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi meliputi: komponen tingkah laku yang mencakup aspek-aspek (subkomponen): kognitif, afektif dan psikomotor; komponen mengajar mencakup subkomponen: isi, metode, organisasi, fasilitas dan biaya; dan komponen populasi, yang mencakup: siswa, guru, administrator, spesialis pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengevaluasi komponen-komponen dan proses pelaksanaan mengajar bukan hanya digunakan tes tetapi juga digunakan bentuk-bentuk nontes, seperti observasi, studi dokumenter, analisis hasil pekerjaan, angket dan checklist. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru atau oleh pihak-pihak lain yang berwenang atau diberi tugas, seperti Kepala Sekolah dan Pengawas, tim evaluasi Kanwil atau Pusat. Sesuai dengan prinsip sistem, evaluasi dan umpan balik diadakan secara terus menerus, walupun tidak semua komponen mendapat evaluasi yang sama kedalaman dan keluasannya. Karena sifatnya menyeluruh dan terus menerus tersebut maka evaluasi pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai suatu monitoring.

Pendidikan dan pembelajaran sebenarnya merupakan aktivitas transfer atau pengomunikasian nilai (values) hidup melalui interaksi guru dengan peserta didiknya. Hal yang tercakup ke dalam nilai hidup itu, antara lain ialah kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih, iman, pengharapan, dan sukacita. Apakah nilai-nilai itu bertumbuh dalam kehidupan peserta didik melalui kegiatan belajar yang ditempuhnya? Kalau guru melakukan penilaian terhadap anak didiknya, seharusnya nilai-nilai hidup, seperti kasih, kepedulian, kejujuran dan keterbukaan yang mewarnainya.

B.     Kerangka Konseptual
Bertitik tolak pada pengajaran Tuhan Yesus sang Guru Agung, yang bisa dikatakan berhasil, (lihat dalam Matius 7:28 “… Takjublah orang banyak mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai seorang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli taurat mereka.”) penulis tertarik untuk meneliti tentang strategi pengajaran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, baik itu prinsip – prinsip pengajaranNya, metode-metode pengajaranNya, tujuan pengajaranNya, yang bisa diterapkan di SMA Kelas X Pencawan Medan untuk mencapai tujuan PAK.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Sebelum melakukan pembelajaran ada baiknya seorang guru menentukan tujuan dari pengajarannya, dan untuk mencapai tujuan tersebut seorang guru kreatif dalam memilih strategi pengajaran yang bervariasi.
Mengingat tujuan PAK adalah mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh kudus ia datang ke dalam suatu persekutuan yang hidup dengan Tuhan, ini berarti tujuan PAK di atas tidak hanya mencakup kognitif seseorang (anak didik) tetapi mencakup afektif dan psikomotorik anak didik. Untuk itu seorang guru PAK dalam memilih kriteria strategi pengajarannya haruslah berpedoman dan berpatokan pada strategi pengajaran yang dilakukan oleh Sang Guru Agung Tuhan Yesus.
Dalam Injil Sinoptis khususnya pasal 5-7 terpapar bagaimana cara Tuhan Yesus dalam mengajar para pengikutNya. Metode-metode yang dilakukan oleh Tuhan Yesus merupakan suatu strategi pengajaran yang efektif untuk diterapkan dalam mencapai tujuan pendidikan Agama Kristen dewasa ini.
Berikut ini adalah bagan untuk menggambarkan uraian teori yang telah dipaparkan di atas.

 Dengan berdasarkan kajian teori dari kedua variabel dari penelitian “Penerapan Strategi Pengajaran Tuhan Yesus Terhadap Pencapaian Tujuan PAK” dapat dijelaskan hubungan kedua variable tersebut, yakni:
Variabel X        :     Strategi Pengajaran Tuhan Yesus (variabel bebas)
Variabel Y        :     Pencapaian Tujuan PAK (variabel terikat)
Hubungan antara kedua variabel, variabel X dan Y yaitu dengan diterapkannya strategi pengajaran Tuhan Yesus akan membantu tercapainya tujuan PAK.



C.     Pengajuan Hipotesa
Hipotesa adalah adalah dugaan sementara, untuk mencapai kebenaran selanjutnya. Namun tidak selamanya hipotesis itu mutlak kebenarannya. Karena itu, dalam karya tulis ini penulis mengutip pendapat A.C. Hofland yang mengatakan, “Di samping kebenaran keilmuan, masih terdapat kebenaran nasional yang artinya kebenaran selalu nyata dalam kaitannya dengan suatu relasi yaitu dalam keterlibatan manusia dengan sesuatu yang lain”.[84]
Dari pemahaman tersebut di atas maka penulis merumuskan Hipotesis daripada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha (Hipotesis Alternatif)     :     Penerapan strategi pengajaran Tuhan Yesus Dalam Proses pembelajaran PAK di SMA Pencawan Medan berhasil baik dan positif.
Ho (Hipotesis Nihil)            :     Penerapan strategi pengajaran Tuhan Yesus Dalam Proses pembelajaran PAK di SMA Pencawan Medan tidak berhasil dengan baik.



[2] http://www.artikata.com/arti-381428-penerapan.html tgl_download_09_04_2011_pukul_ 11.32wib

[3] Kamus Istilah Manajemen, (Universitas Michigan: Pustaka Binaman Presindo, 1994) Hal.155
[4] W. Gulo, Op.Cit Hal.1

[5] M. Fuad Othman, Pengajian Strategi Sebagai Disiplin Ilmu. (Kuala Lumpur: Utusan Publications, 2006) Hal.3

[8] B.S. Sidjabat, Mengajar Secara Profesional. (Bandung: Yayasan Kalam Kudus, 1993). Hal.277
[9] Husein Umar, Strategic Management In Action. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001). Hal.31
[10] Ibid.
[11] Syaiful Bahri Djamarah & A.Zain, Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta : Rineka Cipta, 2006). Hal. 5
[12] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian.2. (Imperial Bhakti Utama, 2007). Hal. 167
[14] J.I.G.M. Drost, Sekolah Mengajar atau Mendidik. (Yogyakarta: Kanisius, 1998) Hal.63

[15] Effandi Zakaria, Trend Pengajaran dan Pembelajaran Matematika. (Kuala Lumpur, Prin-AD SDN BHD, 2007). Hal. 1 (Bilik Darjah : Ruang Kelas, http://translate.google.co.id/translate-Melayu
[17] Shababuddin Hashim, Mahani Razali dan Ramlah Jantan. Psikologi Pendidikan. (Kuala Lumpur: PTS Professional, 2003). Hal .152

[18] Ibid

[19] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009). Hal.85
[20] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001). Hal. 77

[21] Ibid
[22]Ibid. Hal.  54

[23] Wina Sanjaya, Op.Cit. Hal.126
[24] Oemar Hamalik, Op.Cit. Hal. 201.
[25] Wina Sanjaya, Op.Cit. Hal.126.
[26] Ibid.
[27] Hamzah B. Uno, Op.Cit. Hal.1
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] B.S. Sidjabat, Op.Cit. Hal.278.
[31] Hamzah B. Uno, Op.Cit. Hal.3.
[32] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Op.Cit Hal. 5.
[33] Ibid. Hal.278
[34] Ibid. Hal. 279
[35] Ibid Hal.276

[36] Hamzah B. Uno, Op.Cit.  Hal.8
[37] Ibid. Hal 8

[38] Ibid. Hal.9

[39] Ibid
[40] Hamzah B. Uno. Op.Cit. Hal.9

[41] “Rabbi” artinya (1). Pendeta Yahudi (http://translate.google.co.id/translate-Yunani-Indonesia); (2). Di Palestina pada abad pertama Masehi di zaman Yesus, kata ‘rabi’ adalah sebutan seseorang yang serupa dengan ‘tuan’ kita sekarang. (3) Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik רִבִּי ribbī;; Ashkenazi modern dan Israel רַבִּי rabbī) dalam Yudaisme, berarti “guru”, atau arti harafiahnya “yang agung”. Kata "Rabi" berasal dari akar kata bahasa Ibrani RaV, yang dalam bahasa Ibrani alkitabiah berarti "besar" atau "terkemuka, (dalam pengetahuan)".

[42] E.G. Homrighausen, I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999). Hal. 54

[43] B.S. Sidjabat. Op.Cit.  Hal. 276
[44] Supit. Ds.B,  Ringkasan Pengajaran Alkitab (Judul asli: In Vogelv Lucht) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006). Hal.
[45] J.M. Prince, Yesus Guru Agung. (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1975). Hal 5
[47] Andar Ismail,  Selamat Mengikut Dia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982) Hal.52.

[48] Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya?. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985) Hal.46.
[49] Robert R. Boehlke, Op.Cit . Hal. 66.

[50] Ibid. Hal. 67
[51] Ibid.

[52] Oditha R. Hutabarat & Janse Belandina, Pedoman Untuk Guru. (Bandung: Bina Media Informasi, 2006). Hal. 85

[53] Oditha R. Hutabarat, Op.Cit. Hal.85
[54] Paulus Lilik Kristianto, Prinsip & Praktik Pendidikan Agama Kristen. (Yogyakarta: Andi, 2008) Hal.14
[55] J.M. Prince, Op.Cit. Hal 35
[56] Kamus Bahasa Indonesia Online. http//kamusbahasaindonesia.org/capai
[57] Daniel Nahumara, Pembimbing PAK. (Bandung, Jurnal Info Media, 2007) Hal. 8
[58] Oemar Hamalik, Op.Cit. Hal. 79
[59] Thomas H. Groome, Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010). Hal.29
[60] Ibid Hal. 17

[61] Tim Visimedia.  Op.Cit Hal. 63
[62] J.I.G.M. Drost, Sekolah Mengajar atau Mendidik. (Yogyakarta: Kanisius, 1998) Hal.64

[63] Sardiman AM, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengaja., (Jakarta: Rajawali Press, 2003), Hal. 71
[64] Oemar H. Malik, Op.Cit Hal.81

[65] E.G.Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), Hal.  l12
[66] Paulus Lilik Kristanto, Prinsip dan Praktek PAK Penuntun bagi Mahasiswa Teologi dan PAK, Pelayan Gereja, Guru Agama dan keluarga Kristen, (Yogyakarta : Andi Offset ), Hal. 4

[67] Thomas H. Groome, Op.Cit. Hal 37
[68] Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK. (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), Hal. 30

[69] Ibid Hal. 29

[70] Ibid Hal. 31
[71] Ibid

[72] E.G.Homrighausen, Op.Cit. Hal.95

[73] Robert R. Bohkle, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen 1. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), Hal. 340.
[74] Ibid Hal. 415

[75] Sariaman Sitanggang, Bagaimana Menyusun KTSP dan Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta; Engkratela Putra Jaya, 2008) Hal 58.
[76] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997). Hal.4

[77] Ibid Hal. 112

[78] Ibid Hal. 103
[79] Ibid
[80] Ibid
[81] Tim Visimedia,  Op.Cit. Hal. 113

[82] Oemar Hamalik, Op.Cit.  Hal. 77
[83] B.S. Sidjabat, Op.Cit. Hal.334
[84] A.C. Hofland, Allah Beserta Kita. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991) Hal.10